Mendidik atau Menghukum? Catatan Kritis atas Gagasan Mengirim Siswa ‘Gemulai’ ke Barak Militer.

oleh
oleh
Weldemina Yudit Tiwery. FOTO : DOK. PRIBADI

Di tengah semangat global memperjuangkan kesetaraan, keadilan, dan pendidikan yang inklusif, muncul sebuah wacana kontroversial dari seorang gubernur yang menyatakan keinginannya untuk mengirim siswa-siswa yang dianggap “gemulai” ke barak militer agar dididik. Pernyataan ini bukan hanya mencemaskan, tapi juga mengungkap cara pandang konservatif yang diskriminatif terhadap keberagaman ekspresi dan identitas anak-anak muda kita.

Gagasan ini perlu ditanggapi secara serius karena menyangkut martabat manusia, hak-hak anak, serta arah pendidikan di Indonesia. Beberapa catatan kritis perlu disampaikan.

Stereotip dan Kekerasan Simbolik terhadap Ekspresi Gender

Istilah “gemulai” yang digunakan secara peyoratif menunjukkan betapa kuatnya bias gender dalam kebijakan publik kita. Kata tersebut sering dilekatkan kepada laki-laki yang bersikap lembut, dan dianggap menyimpang dari norma maskulinitas dominan. Dalam paradigma pendidikan yang progresif, seharusnya keberagaman ekspresi diri dihargai sebagai bagian dari identitas personal, bukan dianggap sebagai “masalah” yang harus diperbaiki melalui pelatihan militer.

 

Militerisasi Bukan Jawaban bagi Pendidikan Karakter melainkan Pelanggaran terhadap Hak Anak dan Prinsip Inklusi

Pendidikan karakter sejatinya dibentuk melalui pendekatan yang dialogis, partisipatif, dan empatik—bukan dengan cara-cara koersif atau pemaksaan. Mengirim siswa ke barak militer bukan hanya gagal memahami makna pendidikan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kekuasaan yang represif, yang bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi dan penghormatan terhadap kemanusiaan.

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Konvensi Hak Anak PBB, yang juga diratifikasi oleh Indonesia, menegaskan bahwa setiap anak berhak atas pendidikan yang mengembangkan kepribadiannya secara menyeluruh. Kebijakan ini justru menjadi bentuk pelanggaran terhadap prinsip non-diskriminasi dan berpotensi menimbulkan trauma psikologis terhadap siswa yang menjadi sasaran.

Sebagaimana kita ketahui, dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tahun 1948 dan Konvensi Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (CRC) tahun 1989—yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990—merupakan landasan hukum internasional yang menegaskan perlindungan hak anak, khususnya dalam sektor pendidikan. DUHAM Pasal 26 ayat (2) menekankan bahwa pendidikan harus diarahkan pada pengembangan kepribadian manusia secara utuh dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan fundamental (United Nations, 1948). Selaras dengan itu, CRC menetapkan bahwa setiap anak berhak atas pendidikan yang bersifat inklusif dan non-diskriminatif (Pasal 2), serta menegaskan bahwa semua tindakan yang menyangkut anak harus mempertimbangkan kepentingan terbaik anak sebagai prinsip utama (Pasal 3 ayat (1)) (United Nations, 1989). CRC Pasal 29 juga menyatakan bahwa pendidikan harus bertujuan mengembangkan potensi anak semaksimal mungkin serta menumbuhkan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, budaya, dan lingkungan. Dengan demikian, kebijakan atau praktik pendidikan yang mengecualikan, mendiskriminasi, atau menimbulkan tekanan dan trauma psikologis terhadap anak dapat dianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak anak dan prinsip-prinsip inklusi sebagaimana diatur dalam ketentuan internasional tersebut.

Maskulinitas Toksik dalam Kepemimpinan

Kebijakan ini mencerminkan bagaimana pola pikir patriarkis masih mendominasi struktur kekuasaan di negeri ini. Kelembutan dianggap lemah, dan maskulinitas kasar dipandang ideal. Pandangan seperti ini tidak hanya berbahaya bagi anak-anak, tetapi juga mempertahankan budaya kekerasan yang seharusnya ditinggalkan dalam masyarakat demokratis yang sehat.

Kepemimpinan dalam masyarakat modern idealnya mencerminkan nilai-nilai demokrasi, seperti keterbukaan, partisipasi, dan keadilan. Namun, dalam kenyataan sosial-politik Indonesia, kita masih melihat kecenderungan kuat terhadap nilai-nilai patriarkis dalam gaya kepemimpinan dan kebijakan publik. Salah satu manifestasi dari kondisi ini adalah dominasi maskulinitas toksik—sebuah bentuk maskulinitas yang menekankan dominasi, agresi, dan penyangkalan terhadap kerentanan emosional. Fenomena ini tidak hanya berbahaya bagi individu, terutama anak-anak, tetapi juga melemahkan fondasi demokrasi yang sehat dan setara.

Maskulinitas toksik tidak muncul dalam ruang hampa. Ia lahir dari struktur sosial yang patriarkis, yang telah lama mengidealkan laki-laki sebagai pemimpin yang tegas, rasional, dan kuat secara fisik. Dalam kerangka teoretis yang dikembangkan oleh Connell (1995), bentuk ini disebut maskulinitas hegemonik, yaitu bentuk maskulinitas yang dianggap paling sahih dan diberi legitimasi sosial untuk mendominasi bentuk maskulinitas lainnya maupun feminin.

Kepemimpinan yang mempraktikkan gaya otoriter, tidak terbuka terhadap kritik, dan menghindari empati seringkali dianggap lebih “berwibawa”. Dalam sistem seperti ini, sifat seperti kelembutan dan kasih sayang—yang secara kultural diasosiasikan dengan feminitas—dianggap sebagai kelemahan yang tidak pantas dimiliki oleh pemimpin (Kimmel, 2006). Hal ini menciptakan tekanan sosial terhadap laki-laki untuk menyesuaikan diri dengan model kepemimpinan keras, bahkan jika bertentangan dengan nilai-nilai personal atau etik.

Dampaknya terhadap Anak-anak dan Budaya Kekerasan

Kebijakan publik dan narasi kekuasaan yang berakar pada maskulinitas toksik memberi dampak buruk terhadap perkembangan psikososial anak. Anak-anak, khususnya laki-laki, belajar sejak dini bahwa menunjukkan emosi seperti tangis atau empati adalah bentuk kelemahan, sementara agresi dan kontrol adalah tanda kekuatan. Hal ini berdampak pada bagaimana mereka membentuk hubungan sosial, menyelesaikan konflik, dan membangun identitas mereka di masa depan (Pollack, 1998).

Selain itu, ketika maskulinitas toksik dijadikan norma dalam ruang publik dan institusi, maka ia turut melegitimasi budaya kekerasan. Kekerasan tidak lagi dilihat sebagai penyimpangan, tetapi sebagai respons yang dapat diterima dalam situasi tertentu, bahkan dianggap perlu untuk mempertahankan otoritas.

Tantangan terhadap Demokrasi Inklusif

Dalam kerangka demokrasi deliberatif, nilai-nilai seperti kesetaraan, partisipasi yang setara, dan penghargaan terhadap keberagaman sangatlah penting. Namun, kepemimpinan yang didominasi oleh maskulinitas toksik menciptakan ketimpangan partisipasi—terutama bagi perempuan dan kelompok gender non-normatif—yang merasa tidak aman atau terpinggirkan dalam ruang politik (Fraser, 1990). Selain itu, gaya kepemimpinan yang menolak dialog dan cenderung monologis bertentangan langsung dengan prinsip-prinsip demokrasi partisipatoris.

Menggeser paradigma kepemimpinan dari dominasi menuju kolaborasi, dari kekerasan menuju empati, adalah langkah mendesak yang harus diambil. Demokrasi yang sejati tidak dapat hidup dalam bayang-bayang maskulinitas toksik—ia hanya akan tumbuh subur dalam masyarakat yang memuliakan keberagaman dan kemanusiaan.

 

Masa Depan Pendidikan Inklusif, Bukan Seragam

Pendidikan masa depan adalah pendidikan yang membebaskan, bukan menyeragamkan. Justru dari keberagamanlah nilai-nilai toleransi, kasih, dan empati tumbuh. Jika seorang anak laki-laki bersikap lembut, itu bukan kelemahan. Jika seorang anak perempuan bersikap tangguh, itu bukan penyimpangan. Dunia sedang belajar menghargai spektrum ekspresi manusia—mengapa kita justru ingin menyeragamkannya dengan cara yang kasar?

Di tengah perubahan sosial dan kesadaran global tentang pentingnya hak asasi manusia dan keadilan sosial, sistem pendidikan dihadapkan pada tantangan untuk meninggalkan paradigma lama yang menyeragamkan peserta didik. Masa depan pendidikan bukan lagi tentang mencetak individu sesuai cetakan dominan, melainkan merangkul keberagaman sebagai fondasi bagi tumbuhnya masyarakat yang inklusif, adil, dan berempati. Penyeragaman dalam pendidikan bukan hanya ketinggalan zaman, melainkan bertentangan dengan hakikat pendidikan itu sendiri: membebaskan manusia agar dapat menjadi dirinya secara otentik.

Pendidikan sebagai Praktik Pembebasan

Dalam kerangka pedagogi kritis yang diperkenalkan oleh Paulo Freire (1970), pendidikan sejati adalah proses pembebasan, bukan indoktrinasi. Dalam sistem yang menyeragamkan, peserta didik diposisikan sebagai objek yang harus “diisi” oleh pengetahuan dan nilai-nilai dominan. Hal ini menghambat kemampuan berpikir kritis serta mereduksi potensi individu dalam mengekspresikan keunikan dirinya. Sebaliknya, pendidikan yang membebaskan mendorong dialog, refleksi, dan pemaknaan personal terhadap dunia.

Pendidikan masa depan perlu membangun ruang di mana semua bentuk keberagaman—baik identitas gender, ekspresi emosional, latar belakang budaya, maupun cara berpikir—dihargai dan diberdayakan. Anak laki-laki yang bersikap lembut tidak boleh dianggap lemah, sebagaimana anak perempuan yang bersikap tangguh tidak semestinya dipandang menyimpang. Labelisasi semacam itu merupakan refleksi dari konstruksi sosial yang sempit dan bias gender.

Gender, Identitas, dan Spektrum Ekspresi Manusia

Judith Butler (1990) dalam teorinya tentang performativitas gender menunjukkan bahwa gender bukanlah sesuatu yang esensial, melainkan dibentuk dan dipertunjukkan secara sosial. Maka, mengukur nilai seorang anak berdasarkan kesesuaiannya terhadap stereotip gender tidak hanya menyesatkan, tetapi juga berbahaya. Pendidikan seharusnya menjadi ruang aman bagi anak-anak untuk mengeksplorasi dan mengekspresikan dirinya tanpa takut dinilai menyimpang dari norma yang sempit.

Banyak sistem pendidikan yang masih menerapkan disiplin berbasis norma maskulinitas hegemonik—keras, kompetitif, dan menuntut kepatuhan total. Hal ini berdampak buruk terhadap kesehatan mental peserta didik dan memperkuat budaya diskriminatif (hooks, 1994). Padahal, nilai-nilai seperti empati, kolaborasi, dan kasih sayang justru merupakan kompetensi sosial utama yang dibutuhkan dalam abad ke-21, sebagaimana ditekankan dalam kurikulum berbasis nilai-nilai global citizenship (UNESCO, 2017).

Tantangan dan Arah Transformasi

Sistem pendidikan yang menyeragamkan seringkali berangkat dari niat untuk menciptakan keteraturan dan kesetaraan. Namun, jika kesetaraan diterjemahkan sebagai “penyamaan”, maka sistem tersebut justru mengingkari keadilan. Prinsip inklusivitas menuntut kita untuk mengakui perbedaan dan menyediakan dukungan yang sesuai dengan kebutuhan unik setiap peserta didik.

Transformasi menuju pendidikan yang inklusif tidak dapat dicapai hanya melalui kebijakan administratif, tetapi harus disertai perubahan paradigma dalam memandang peserta didik. Guru, kurikulum, dan lingkungan belajar harus didesain untuk menampung keberagaman pengalaman dan ekspresi. Alih-alih menekan perbedaan, pendidikan seharusnya memfasilitasi dialog antar perbedaan untuk membangun pemahaman, toleransi, dan solidaritas.

Masa depan pendidikan adalah masa depan yang manusiawi—yang merangkul spektrum identitas dan pengalaman, bukan menolak atau menyeragamkannya. Di dunia yang semakin kompleks, empati, kasih, dan toleransi tidak lahir dari keseragaman, melainkan dari penghargaan terhadap perbedaan. Oleh karena itu, pendidikan yang membebaskan dan inklusif bukanlah ideal utopis, tetapi kebutuhan mendesak demi menciptakan generasi yang siap membangun dunia yang adil dan beradab.

Gagasan mengirim siswa “gemulai” ke barak militer bukanlah solusi, melainkan bentuk kegagalan memahami esensi pendidikan dan keadaban. Pemimpin sejati seharusnya merangkul keberagaman dan memperjuangkan sistem pendidikan yang membentuk manusia yang utuh, bukan manusia yang seragam.

Mari kita lawan setiap bentuk kekerasan simbolik dan kebijakan yang diskriminatif, demi masa depan anak-anak kita yang lebih adil, inklusif, dan manusiawi.

Oleh: Weldemina Yudit Tiwery, Akademisi IAKN Ambon

 

No More Posts Available.

No more pages to load.