PENSIL 2025: Dari Legenda ke Literasi, dari Anak-anak untuk Bangsa, Oleh: Pdt. Alda Mual, M.Pd

oleh
oleh

Suasana hangat menyelimuti Auditorium Fakultas STKIP Universitas Pattimura sore itu. Ratusan mata tertuju ke panggung sederhana yang dihiasi anyaman lokal dan mural warna-warni. Di sanalah, anak-anak usia dini hingga remaja, tampil percaya diri membawakan kisah yang menyentuh: “Kisah Sukun Kapas, Pemisah Persaudaraan.” Itulah tajuk Pentas Seni dan Literasi, atau yang akrab disebut PENSIL, sebuah inisiatif dari Yayasan Elphidos Maluku dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional 2025. Disini anak-anak tidak hanya mementaskan cerita, tetapi warisan budaya, semangat damai, dan harapan bagi masa depan.

Kisah Sukun Kapas, Pemisah Persaudaraan adalah kisah lokal dari Maluku yang dikemas dengan apik menjadi pintu masuk untuk menggali legenda persaudaraan antara Pulau Nusalaut dan Ambalau. Sebuah kearifan lokal yang dibangunkan kembali untuk menjawab tantangan zaman, ketika perbedaan lebih mudah dijadikan alasan untuk berselisih ketimbang saling menguatkan.

Dalam konteks Maluku yang kaya akan nilai budaya, Pela-Gandong adalah warisan sosial yang telah menjadi fondasi kehidupan antar komunitas. Sebuah ikatan kultural dan spiritual yang menyatukan negeri-negeri adat dalam semangat persaudaraan lintas agama, suku, dan wilayah. Di tengah meningkatnya ancaman perpecahan karena perbedaan identitas di berbagai wilayah Indonesia, PENSIL menjadi panggung pendidikan nilai bahwa anak-anak perlu dikenalkan pada harmoni sosial sejak dini serta memandang perbedaan sebagai kekayaan hidup menuju persaudaraan sejati.

Penampilan anak-anak dari PAUD Rantai Kasih Rumah Tiga, Give Ensemble, dan SMTPI Elim 3 Batu Gajah bukan sekadar hiburan sore. Di balik celoteh yang mungkin tak sepenuhnya utuh, langkah tarian yang tidak selalu berirama, dan suara lantang yang terkadang gugup, tersembunyi keberanian untuk tampil, belajar, dan bertumbuh. Itulah pendidikan yang sejati, pendidikan yang menumbuhkan, bukan menghakimi; yang membebaskan, bukan membatasi. “Kita tidak sedang sekadar menonton pertunjukan, kita sedang menyaksikan bagaimana nilai-nilai luhur ditanamkan sejak dini,” ujar Pdt. Alda Mual-Nahumury, pemrakrasa kegiatan ini.

Ketua Yayasan Elphidos Maluku dalam sambutannya mengingatkan bahwa pendidikan sejati tidak hanya mengajar anak membaca dan menghitung, tetapi juga mengenal dirinya, budayanya, dan lingkungannya. “Pendidikan bukan hanya soal angka dan huruf, tapi juga soal rasa, cerita, dan karya. Ia lahir dari penerimaan setiap anak yang dibentuk dalam kasih sayang keluarga dan komunitasnya,” ujar beliau dengan penuh semangat.

PENSIL juga menjadi cerminan gagasan bahwa literasi tidak melulu soal membaca teks, melainkan membaca kehidupan. Ketika anak-anak memainkan kisah legenda lokal, mereka sedang menenun identitas, merajut empati, dan membangun jembatan antara masa lalu dan masa depan. Inilah bentuk pembelajaran yang menyentuh: menyenangkan, membumi, dan membentuk karakter.

Kegiatan ini juga mendapat dukungan penuh dari berbagai pihak, mulai dari Bunda PAUD Kota Ambon, Dinas Pendidikan, HIMPAUDI, pemerintah negeri, hingga jejaring relawan dan pengajar komunitas, termasuk Give Center Jakarta dan Buku Voor Aboru. Kolaborasi ini menegaskan bahwa membangun generasi tidak bisa hanya diserahkan kepada sekolah, tetapi harus melibatkan seluruh ekosistem sosial.

Dengan total 46 anak dari berbagai jenjang usia, PENSIL menyajikan pertunjukan seni yang sarat nilai. Mulai dari drama, puisi, hingga tarian, semuanya bertujuan menggali dan menanamkan kembali nilai-nilai luhur dalam keseharian anak-anak. Sebuah pendekatan pendidikan holistik yang menjadi ciri khas Yayasan Elphidos Maluku bahwa setiap anak, tak peduli dari mana asalnya, pantas diberi ruang untuk tumbuh dan berkarya.

PENSIL bukan hanya pertunjukan, tetapi sebuah pernyataan: bahwa generasi penerus bangsa perlu dibentuk dengan sentuhan budaya, pelukan kasih, dan teladan persaudaraan. Di saat dunia dewasa sering kali gagal berdamai, anak-anak kita masih punya peluang untuk tumbuh dalam damai, asal kita berani memberi mereka ruang dan kepercayaan. Sebab seperti yang diyakini para penggagas kegiatan ini, “Anak-anak adalah masa depan orang tua. Ajari mereka dengan baik dan biarkan mereka memimpin.”

Di akhir acara, Yayasan Elphidos Maluku menyampaikan harapan besar agar kegiatan seperti ini dapat terus berlanjut dan menjadi model pembelajaran yang humanis di berbagai tempat lainnya. “Mari bersama kita rajut persaudaraan melalui seni dan literasi, demi masa depan Maluku dan Indonesia yang damai, berbudaya, dan beradab,” tutup Pendeta Alda Mual-Nahumury. Dari Ambon untuk Indonesia, suara anak-anak menjadi cahaya yang memecah gelapnya perbedaan. (***)

**) Ikuti berita terbaru Terasmaluku.com di Google News klik link ini dan jangan lupa Follow

No More Posts Available.

No more pages to load.