Kerusakan hutan merupakan salah satu isu krusial kontenporer di Maluku. Mata kita sering disuguhkan dengan fenomena deforestasi yang terjadi pada berbagai wilayah. Global Forest Watch melaporkan terdapat 3,143 peringatan deforestasi di Maluku antara 26 Mei dan 2 Juni 2025. Hal ini menandakan bahwa persoalan hilangnya luas hutan secara permanen belum mencapai titik akhir. Siklus pengurangan luas hutan akan terus berputar dari satu titik ke titik yang lain. Atas dasar logika pembangunan nasional, keindahan hutan harus diganti dengan pertambangan nikel, marmer, lahan kelapa sawit, maupun proyek nasional lainnya. Hal ini berakibat pada punahnya keanekaragaman hayati, hilangnya sakralitas hutan, terjadinya bencana alam, maupun hilangnya identitas masyarakat adat.
Sikap antroposentris masih menjadi dasar utama persoalan. Hutan hanya memiliki nilai intrumental bagi manusia. Nilai-nilai mendasar dan intrinsik yang terdapat dalam komponen hutan tidak menjadi bagian yang dipertimbangkan. Hal ini menyebabkan hutan dipandang sebagai sumber penghasilan yang diekstraksi demi keuntungan pribadi dan golongan.
Di tengah problematika kerusakan hutan, dibutuhkan kesadaran moral dari setiap individu maupun kelompok untuk terlibat aktif. Dalam pendekatan etika, kesadaran moral akan mendorong kemauan dan aksi. Aksi nyata sebagai bentuk tanggung jawab etis dalam hidup bersesama dengan alam ciptaan. Tanggung jawab harus dibangun atas dasar epistemologi dan etika yang solider dan inklusif. Maka dari itu, tindakan manusia harus diarahkan pada etika solidaritas. Solidaritas menjadi kekuatan untuk bergerak mewujudkan pemulihan komprehensif bagi ratapan kerusakan hutan. Bagi Rebecca Todd Peters (2014), etika solidaritas harus dimulai dengan metanoia (pertobatan). Metanoia sebagai bentuk transformasi radikal terhadap pikiran yang memandang hutan sebagai sumber penghasilan, maupun perilaku dan gaya hidup dari manusia. Sepadan dengan itu, Arnev Ness (1993) dalam etika ekologinya, mengungkapkan bahwa di tengah kerusakan lingkungan, hal mendasar yang perlu dilakukan adalah perubahan cara pandangan dan perilaku terhadap alam yang fundamental dan radikal. Transformasi tersebut akan mendorong pertobatan ekologis. Yang berimplikasi pada perubahan sikap apatis menjadi proaktif, serta memberikan paradigma baru dalam melihat hutan secara holistik dan ekologis.
Etika solidaritas tidak hanya berhenti pada metanoia, tetapi pada tindakan. Setiap elemen masyarakat dari berbagai latar belakang didorong untuk menjadi pionir dalam beraksi pada ruang virtual maupun real reality; baik pada skala mikro, meso maupun makro. Aksi dapat dalam bentuk kearifan lokal, demonstrasi, seni, perlawanan melalui meja hijau, provokasi media, gerakan reforestasi, meningkatkan sumber daya masyarakat adat, dll. Setiap orang dapat bergerak dengan pendasaran etis solidaritasnya masing-masing tanpa harus saling menyalahkan, baik berbasis nilai kultural, religius, ideologi, nilai-nilai universal, maupun atas dasar panggilan batin, dll. Berbagai pendasaran tersebut merupakan benang-benang moral yang dapat menyatu menjadi kekuatan moral (moral force). Kekuatan ini dapat mengembalikan keindahan hutan serta memutuskan siklus pengurangan luas hutan.
Hari ini, 5 Juni 2025 masyarakat global merayakan Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Perayaan tersebut patut kita rayakan dengan aksi peduli hutan, serta memberikan apresiasi dan penghormatan kepada para pahlawan hutan. Terima kasih atas komitmen, kesetian, dan pengabdian yang kuat dan mendalam untuk menjaga serta merawat hutan.
Selamat Hari Lingkungan Hidup Sedunia, katakanlah kepada diri kita masing-masing, “We are moral humans”, manusia yang mempunyai kesadaran, kemauan dan siap bertindak di tengah ancaman kerusakan lingkungan hidup!
**) Ikuti berita terbaru Terasmaluku.com di Google News klik link ini dan jangan lupa Follow