Pendidikan tidak boleh tertinggal saat dunia berlari dengan kecepatan teknologi. AI kini bukan sekadar istilah ilmiah, tetapi realitas sehari-hari. Di sinilah penitngnya membekali anak-anak kita sejak mereka mulai bersekolah dengan kemampuan digital agar mampu tumbuh sebagai generasi pembelajar adaptif dan kreatif.
Pengenalan teknologi kepada siswa tidak cukup hanya pada aspek keterampilan teknis seperti mengetik, coding, atau menggunakan aplikasi. Yang lebih fundamental adalah membangun kesadaran digital yakni pemahaman akan bagaimana teknologi memengaruhi kehidupan mereka, bagaimana data mereka digunakan, serta bagaimana bersikap etis dan bijak di ruang digital. Kesadaran ini perlu ditanamkan melalui pembelajaran yang terintegrasi dalam kurikulum, dengan pendekatan lintas mata pelajaran.
Guru dan orang tua perlu berperan aktif dalam menumbuhkan budaya digital yang sehat seperti mengajarkan pentingnya privasi, mengenali informasi palsu, menghindari kecanduan layar, hingga mendorong empati dalam komunikasi daring. Literasi digital bukan hanya tentang “menguasai teknologi”, tetapi juga tentang menjadi warga digital yang bertanggung jawab. Ketika kesadaran ini dibentuk sejak dini, anak-anak tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga pencipta solusi berbasis nilai dan kebermanfaatan sosial.
Kemampuan digital bukan lagi sekadar pelengkap, melainkan kunci untuk bertahan dan berkembang di masa depan. Di tengah derasnya arus perubahan, anak-anak perlu dipersiapkan sejak dini agar tidak sekadar menjadi pengguna teknologi, tetapi juga pencipta dan pengendali teknologi itu sendiri.
Mengajarkan kecerdasan buatan (AI) di sekolah penting untuk membekali siswa dengan cara berpikir kritis dan solutif di era digital. AI tidak harus diajarkan secara rumit, cukup dimulai dengan konsep sederhana seperti mengenali pola atau membuat prediksi. Dengan begitu, siswa belajar bukan hanya menggunakan teknologi, tetapi juga memahami dan mengendalikannya secara etis dan bermanfaat bagi masyarakat.
Mengajarkan coding dan AI sejak sekolah dasar bukan soal gaya hidup modern, tapi soal kesiapan menghadapi masa depan. Melalui strategi pembelajaran yang menarik dan ramah anak, materi seperti algoritma, pemograman, dan nilai-nilai etioka digital bisa disampaikan dengan cara yang menyenangkan dan mudah dipahami. Banyak negara seperti Estonia dan Singapura justru telah membuktikan bahwa dasar pemograman dan logika algoritmik bisa diajarkan dengan cara yang menyenangkan dan sesuai usia. Di Indonesia, Kurikulum Merdeka sebenarnya telah memberi ruang luas untuk pengembangan keterampilan digital melalui mata pelajaran Informatika dan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila.
Lebih dari sekadar keterampilan teknis, coding dan AI membuka jalan bagi anak-anak untuk memahami cara kerja dunia digital seperti menyusun berpikir logis, menyusun solusi, dan menyadari bagaimana algoritma memengaruhi keputusan sehari-hari. Ini bukan semata tentang mencetak programmer, tapi membentuk generasi yang paham dan sadar teknologi, bukan terperangkap di dalamnya.
Literasi digital sejak dini bukan hanya soal ikut zaman, tapi juga soal keadilan. Tanpa campur tangan pendidikan, anak-anak di pelosok bisa makin tertinggal dari sisi teknologi. Justru lewat pengenalan coding dan AI, kita bisa membuka akses dan peluang yang sama bagi semua anak termasuk mereka yang tinggal di daerah terpencil atau berasal dari keluarga dengan keterbatasan ekonomi.
Transformasi digital dalam pendidikan harus dibarengi dengan upaya membangun sistem yang inklusif, agar setiap anak tanpa memandang latar belakang sosial, geografis, atau kemampuan dapat mengakses pembelajaran berkualitas. Pemerataan akses terhadap perangkat, jaringan internet, dan materi pembelajaran digital harus menjadi prioritas. Inklusivitas bukan hanya soal akses, tetapi juga mencakup desain pembelajaran yang ramah bagi semua, termasuk siswa dengan kebutuhan khusus. Dengan sistem yang inklusif, kemajuan teknologi benar-benar menjadi milik bersama, bukan hanya segelintir.
Kemendikdasmen telah memulai langkah strategis dengan menjadikan coding dan AI sebagai bagian dari Program Prioritas 2025. Namun, keberhasilan program ini membutuhkan dukungan nyata: pelatihan guru, penyediaan perangkat di sekolah, kurikulum yang kontekstual, serta kolaborasi dengan dunia industri dan komunitas teknologi lokal. Sejatinya, literasi digital bukan sekadar “kemampuan baru”, tapi adalah bentuk adaptasi hidup.
Dan pendidikan adalah tempat pertama di mana kemampuan itu seharusnya ditanamkan. Kita tidak bisa lagi menunda. Dunia tidak akan menunggu kita.
Penulis : Septian Chaerunnisa Pangestu, Mahasiswa Pendidikan Agama Islam UIN Purwokerto dan Pemerhati Kebijakan Pendidikan
**) Ikuti berita terbaru Terasmaluku.com di Google News klik link ini dan jangan lupa Follow