Nasionalisme Kerakyatan dan Perayaan HUT RI di Kampung Digital

oleh
Penulis: Hamdi  |  Editor: Hamdi
Komunitas Mancing Aceh membawa bendera saat menuju Pulau Tuan, di desa Lamteungoh, kecamatan Peukan Bada, kabupaten Aceh Besar, Aceh, Minggu (10/8/2025). Pengibaran bendera di Pulau Tuan yang memiliki keindahan terumbu karang dan berbagai jenis ikan hias tersebut dalam rangka menyambut HUT ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia. ANTARA FOTO/Ampelsa/nz

TERASMALUKU.COM,-Sebulan menjelang 17 Agustus, ratusan juta masyarakat Indonesia sudah bersiap merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-80 Kemerdekaan RI di kampung masing-masing, baik di desa maupun kota.

Masyarakat di Kampung Wonocolo, Surabaya, adalah salah satu contoh warga yang mengadakan serangkaian perayaan sejak 17 Juli dengan lomba menggambar, lalu ada lomba makan kerupuk, lomba gelas estafet, lomba pindah air, lomba menyunggi atau mengusung tempeh, lomba karaoke, hingga lomba layang-layang.

Bedanya dengan tahun-tahun sebelumnya, perayaan 80 tahun kemerdekaan RI itu, kini tidak hanya ada di kampung-kampung yang nyata, tapi pada waktu yang sama juga ada yang berlangsung di kampung-kampung digital (kampung maya) yang tidak kalah meriah dengan perayaan di kampung nyata.

Apalagi, lomba-lomba yang ada di kampung nyata itu pun langsung diunggah ke kampung digital melalui sejumlah platform media sosial, sehingga perayaan di kampung maya pun bertambah meriah. Perayaan di kampung digital itu ada yang sifatnya kreasi digital, atau perayaan yang murni merupakan produk digital, karena era digital memang melahirkan perubahan yang bisa sangat berbeda sama sekali.

Kreasi tentang HUT Ke-80 Tahun RI di dunia digital itu memungkinkan, karena media komunikasi saat ini memang sudah sangat digital, bahkan sarana/jasa transportasi dan sistem perdagangan/bisnis juga demikian.

Selain itu, era digital juga tidak hanya bersifat fisik (sarana/fasilitas), namun ada juga hal yang bersifat non-fisik, seperti konten atau informasi juga sudah sangat berubah maknanya, baik makna negatif maupun makna positif.

Makna negatif itulah yang kini disebut dengan istilah “framing” (pembelokan makna lewat kekuatan persepsi/rekayasa narasi, foto, video, gerak, suara), bahkan tokoh pers Dahlan Iskan menilai kebenaran yang dulu dibentuk oleh fakta itu, kini sudah bergeser ke framing sebagai acuan kebenaran yang lebih bersifat spekulasi atau persepsi.

Artinya, informasi di masa lalu itu terjamin kebenarannya alias akurat, karena didasarkan pada fakta, bukan informasi yang memiliki makna bias atau spekulatif, karena tidak bisa dipastikan benar, tapi bisa benar dan bisa juga hoaks, framing, deepfake, dan sejenisnya.

Artinya, perayaan 80 tahun Indonesia pun bertebaran di berbagai platform digital, yang juga tidak menutup kemungkinan ada perubahan makna yang jauh sangat berbeda dari makna sebelumnya, meski tetap benar/akurat, bahkan perayaan HUT RI di platform digital kini sangat dominan.

Nasionalisme kerakyatan

Perayaan HUT RI di kampung yang penuh hiasan warna-warni juga ada di platform digital hiasan hingga meriah dan diunggah melalui sejumlah akun secara atraktif, kreatif, dan imajinatif. Ya, perayaan di kampung digital sepertinya tidak mau kalah meriah dengan perayaan di kampung yang nyata.

Ada juga puisi kritis, tapi santun, yang diviralkan pada sejumlah platform digital oleh tokoh NU yang selama ini juga dikenal sebagai budayawan, yakni KH Mustofa Bisri (Gus Mus).

Tidak hanya itu, ada juga warga yang mengunggah perayaan dengan makna kemerdekaan, namun perlu dikritisi untuk mengingatkan betapa sakralnya bendera Merah Putih kita, seperti bendera bajak laut bertopi Jerami Jolly Roger dalam animasi Jepang (manga) yakni “One Piece”. Mereka perlu diingatkan, betapa hal itu tidak layak, karena lumuran darah para pejuang disandingkan dengan simbol bajak laut.

Meskipun demikian, pemerintah menanggapi hal tersebut dengan bijak. Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyatakan bahwa Presiden Prabowo Subianto juga tidak mempermasalahkan pengibaran bendera “One Piece” yang dilakukan sejumlah komunitas sebagai bagian dari ekspresi kreativitas, asalkan tidak ada upaya membenturkan dengan Merah Putih.

Presiden sendiri menunjukkan rasa cinta tanah air, rasa cinta kepada bendera Merah Putih, dan rasa nasionalisme melalui program kerakyatan, seperti Makanan Bergizi Gratis (MBG), Cek Kesehatan Gratis (CKG), Koperasi Merah Putih, Sekolah Rakyat, dan sebagainya yang sejak awal memimpin hingga kini terus perhatian pada soal-soal kerakyatan.

Langkah Presiden Prabowo bersama kabinet yang faktual itu agaknya mampu “meluruskan” simbol kekecewaan yang ekspresif akibat simbol “bajak laut” yang terasa kurang menghargai para pejuang.

Program-program pemerintah yang menunjukkan negara hadir untuk memfasilitasi kebutuhan rakyatnya adalah ekspresi dari nasionalisme yang bukan sebatas wacana di dunia nyata atau di dunia digital. Semua itu merupakan wujud nasionalisme dalam tata kelola kekayaan negara yang benar-benar kembali kepada rakyat.

Bahkan, Presiden dalam Sidang Kabinet Paripurna, di Kantor Presiden, Istana Kepresidenan, Jakarta (6/8/2025), menegaskan fokus pekerjaan untuk rakyat dan pihaknya tidak rela bila rakyat Indonesia dimiskinkan terus oleh mereka yang hanya mengeruk kekayaan negara untuk pribadi. Nasionalisme itu untuk rakyat, bukan untuk wacana, baik di dunia nyata maupun di dunia digital.

Artinya, nasionalisme itu tidak seharusnya hanya simbol yang tidak faktual, baik simbol di dunia nyata maupun di dunia digital, namun ke depan hendaknya benar-benar menunjukkan nasionalisme kerakyatan yang mampu memenuhi kebutuhan rakyatnya.

Ekspresi nasionalisme di kampung digital memerlukan kehati-hatian agar tidak menimbulkan persoalan, terutama terkait dengan menjaga perasaan pihak lain, sehingga persatuan dan kesatuan sebagai satu bangsa tetap terjaga. Kemeriahan perayaan kemerdekaan di kampung digital seharusnya menghadirkan kegembiraan dan kebahagiaan bersama. Merdeka.
Oleh Edy M Yakub/Antara
Editor : Masuki M Astro

**) Ikuti berita terbaru Terasmaluku.com di Google News klik link ini dan jangan lupa Follow