TERASMALUKU.COM,AMBON- Indonesia saat ini sedang mengalami distorsi paham kebangsaan yang dapat mengancam keberlangsungan nasion-state (negara kebangsaan) Indonesia. Fenomena hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kita dewasa ini sedang menghadapi krisis kebangsaan yang sangat serius.
“Sentimen suku, ras dan agama kian mengkristal, ditandai munculnya kelompok-kelompok fundamentalis, eklusifisme dan intoleran yang mengobarkan doktrin fanatisme dan sentimen primodialisme. Belum lagi adanya gejala kebangkitan komunis dengan kemasan baru,” kata Direktur Lembaga Studi Pers dan Demokrasi (LSPD) M. Azis Tunny saat membuka Dialog Kebangsaan bertemakan Pancasila dan Tantangan Kebangsaan di Abad 21, Rabu (24/5).
Dialog yang berlangsung di aula Fakultas Ekonomi Unpatti ini menghadirkan tiga narasumber yakni Dosen Ilmu Hukum Tata Negara Unpatti Ambon Sherlok H. Lekipiouw, Direkrur Mollucas Economyc Reform Institute (Moeri) Tammat R. Talaohu, dan Ketua Penghubung Komisi Yudisial Amirudin Latuconsina.
Tunny mengatakan, dialog kebangsaan yang dilaksanakan LSPD bekerjasama dengan Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) Cabang Ambon dan Gerakan Mahasiswa dan Pelajar (GMP) FKPPI PD XXIII Maluku itu dalam rangka memperingati Hari Lahir Pancasila tanggal 1 Juni mendatang.
“Kami berharap agar generasi muda menjadikan Pancasila sebagai sebuah kebanggaan, sebagai ideologi, sebagai falsafah dan tujuan hidup. Generasi muda harus menghidupkan kembali Pancasila dalam kehidupannya sehari-hari,” kata mantan Koordinator Maluku Media Centre (MMC) ini.
Sherlock H. Lekipiouw mengatakan, dari konstruksi hukum tata negara, Pancasila bukan hanya sebagai kaidah fundamental negara, atau sebagai cita hukum yang dijadikan sumber segala sumber hukum negara yang keberadaannya tidak hanya diluar konstitusi negara (UUD Negara RI 1945), tetapi juga menjadi bagian UUD Negara RI 1945. “Jangan sampai Pancasila terlalu abstrak sehingga dianggap mitos. Pancasila harus bisa diwujudnyatakan,” tegasnya.
Dia mempertanyakan, setelah tidak berlaku lagi Penataran P4 (Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) pasca tumbangnya Orde Baru, lembaga mana yang paling kredibel di negara ini yang dapat menilai seseorang atau kelompok orang melakukan pelanggaran terhadap Pancasila. “Kalau terjadi sengketa konstitusi atau pelanggaran terhadap undang-undang maka orang bisa mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Pertanyaannya, bagaimana kalau terjadi pelanggaran terhadap Pancasila? Lembaga mana di Indonesia yang berhak menilai itu?” ujarnya.
Lekipiouw menyambut baik dialog kebangsaan yang sudah dilaksanakan LSPD dalam beberapa kali sesi. Menurutnya, kegiatan yang mendiskusikan kembali ke-Indonesia-an dan kebangsaan kita itu harus menjadi kegiatan rutin yang juga disupport oleh kalangan akademik dan kampus. “Saya akan berbicara dengan Wakil Dekan IV Fakultas Hukum Unpatti agar kegiatan ini juga bisa menjadi program kerja fakultas hukum Unpatti. Ini penting sekali sebagai bagian dari upaya kita merawat kebangsaan kita,” ujarnya.
Tammat R. Talaohu menilai, tantangan sekarang ini, Pancasila dihadapkan pada hegemoni kekuatan kapitalisme global yang telah dijadikan sebagai “ideologi” masyarakat dunia, bahkan di Indonesia. “Dasar negara kita adalah Pancasila dan kita memiliki sistem ekonomi Pancasila, namun ironisnya sistem perekonomian yang selama ini berlangsung di Indonesia tidaklah bersumber dari nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila, namun justru cenderung kapitalis-neolib,” ungkapnya.
Penulis buku “Malapetaka Ekonomi Global” ini mengingatkan, dalam perjalanan negara ini, kapitalisme telah memberikan efek buruk bagi perekonomian dan kesenjangan sosial yang semakin menganga. Ditegaskannya, amanah Pancasila adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia maka Pancasila yang seharusnya dijadikan pedoman mendasar dari setiap kebijakan pembangunan ekonomi. Jeratan IMF (International Monetary Fund) pada kendali kebijakan perekonomian Indonesia misalnya, kata Talaohu, telah menurunkan kedaulatan nasional ekonomi Indonesia, berjalan sangat lama dengan hasil yang minimal, serta menelan biaya sosial-ekonomi yang sangat mahal.
“Negara-negara tetangga kita yang sama-sama mengalami krisis seperti Korea Selatan dan Thailand, hanya kurang dari dua tahun sudah bisa melepaskan diri dari IMF. Malaysia pada awal krisis dengan tegas menolak untuk dibantu IMF. Mereka tidak ingin dibantu IMF, karena tidak ingin kedaulatan ekonominya dikendalikan lembaga internasional itu. Mereka tak ingin nasionalisme ekonominya digadaikan. Sayangnya Indonesia, yang dalam sistem ekonomi Pancasila mensyaratkan nasionalisme ekonomi, justru terjebak dalam tangan IMF, dan gagal memulihkan ekonomi nasional,” bebernya.
Kasus terbelenggunya Indonesia pada utang dan terperosoknya Indonesia dalam krisis ekonomi, kata Talaohu, merupakan peringatan kepada bangsa kita untuk menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, yakni nilai-nilai sistem Ekonomi Pancasila, dalam memecahkan masalah ekonomi yang dihadapi bangsa ini.
Sementara itu, Amirudin Latuconsina mengatakan, bangsa Indonesia beruntung karena diwarisi oleh para pendiri bangsa (founding fathers) yakni Pancasila dan Nasionalisme yang bervisi sosialisme. “Artinya, di tengah meluasnya perlawanan terhadap kapitalisme global, nasionalisme Indonesia tetap relevan. Dan, Pancasila kita, yang jelas-jelas anti-kolonialisme dan anti-kapitalisme itu, masih akan tetap relevan dalam menjiwai perjuangan rakyat Indonesia mencapai masyarakat adil dan makmur sesuai amanat pancasila,” katanya.
Dikatakannya, terlepas dari ontologi dan epistomologi dimana Pancasila lahir untuk mengatur manusia, secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila (subscriber of value Pancasila), yaitu bangsa yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan dan berkeadilan sosial. Dikatakannya, operasionalisasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara haruslah diupayakan secara kreatif dan dinamik, sebab Pancasila sebagai ideologi bersifat futuralistik. “Tantangan terbesar kita adalah mewujudkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Jangan sampai mengaku diri sebagai manusia Pancasilais, tapi tidak mengamalkan amanat Pancasilais,” tandasnya. (ADI)