Jurnalisme Damai Upaya Tangkal Paham Radikalisme

oleh
oleh
Insany Syahbarwaty. FOTO : DOK. PRIBADI

Oleh : Insany Syahbarwaty*

Paham radikalisme tentu merupakan paham yang mau tak mau harus menjadi perhatian semua pihak, tak hanya tugas negara dan aparat penegak hukum namun seluruh lapisan masyarakat karena paham ini bisa sangat merusak tatanan hidup berbangsa dan bernegara.

Paham radikalisme juga menjadi bahaya laten jika dibiarkan berkembang di masyarakat, tak sedikit masyarakat yang terbawa dan menjadi korban dari paham ini jika tak kunjung dituntaskan.

Jumlah aparatur penegak hukum sangat terbatas jika harus mensosialisasikan bahaya dari paham radikalisme ini. Sebab perkembangannya yang terlihat maupun tak terlihat terus terjadi di tanah air. Mereka yang terseret ikut dalam paham ini pun tak sedikit, menurut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Pol. Dr. Boy Rafli Amar, M.H. dalam tiga tahun terakhir aktifitas perekrutan, propaganda hingga pendanaan meningkat di media siber.

Aktifitas yang beralih ke dunia siber ini tentu sulit dideteksi jika tak diimbangi dengan pemberitaan media mainstream yang mengusung edukasi dan tangkal hoax agar bisa melawan propaganda sesat tentang paham radikalisme  ini.

Doktrinisasi ideologi ini bahkan lebih massif dan efektif bagi masyarakat pengguna media sosial atau yang aktif di dunia siber. Dengan mudah orang  bisa terpengaruh karena membaca informasi sesat dan hoax yang disebarkan di dunia siber atau internet ini.

Kasus penyerangan pos jaga di Mabes Polri oleh perempuan muda bercadar bernama Zakiah  berusia 25 tahun  diduga kuat merupakan salah satu korban akibat terpapar informasi sesat dari internet.

Juga ribuan perempuan muda di Eropa dan Amerika yang terpapar informasi sesat tentang ISIS hingga mengorbankan banyak hal dihidupnya untuk datang ke Suriah menjadi anggota ISIS adalah contoh lain yang bisa ditemukan jejaknya di internet.

Tak hanya menyebar propaganda ideologi berbahaya ini, namun organisasi radikalisme ini juga melakukan penggalangan dana.   Badan Nasional  Penanggulangan Terorisme  (BNPT) mendata ada kenaikan presentasi transaksi perbankan atau crowd funding yang mecurigakan yang diduga untuk menyuplai dana ke organisasi-organisasi radikal ini.

Di sisi lain ada penambahan angka dukungan yang datang dari perempuan terhadap organisasi dan paham radikal ini. Data riset  dari Soufan Center menyebutkan angka dukungan kepada teroris yang dilakukan perempuan  naik  di wilayah Asia Tenggara. Yakni terdata sejak 2016 hingga 2020 sebanyak 40 perempuan ditangkap karena kasus terorisme.

Tak hanya beraksi di Indonesia namun perempuan yang terpapar ideologi ini juga beraksi hingga ke luar negeri, terutama mengikuti ISIS di Suriah. Semua terjadi karena paparan dari internet yang diakses dengan mudah.

Parahnya lagi, paparan ideologi sesat semacam ini bisa terjadi pada perempuan dari manapun dan lintas profesi apapun, bahkan  kalangan intelektual, sebut saja profesi dokter, jurnalis, polisi, tentara, hakim, tokoh agama, aparatur sipil negara, hingga akademisi.

Di era perkembangan dunia internet terjadi lompatan teknologi informasi yang berdampak pada pola komunikasi dan interaksi sosial saat ini. Tidak sedikit mereka yang terpapar terorisme mendapatkan pengetahuannya dari internet dan jejaring media sosial. Meskipun pihak pengelola media sosial telah menutup akun-akun radikalisme dan terorisme, tetap saja konten tersebut muncul di internet dan viral di media sosial.

Lantas bagaimana menangkal dan mengedukasi masyarakat agar tidak terpapar informasi sesat, hoax dan propaganda yang bisa menjurus pada brain wash ini ?

Selain tugas negara, daya tangkal bisa dilakukan oleh jurnalis atau lembaga pers di Indonesia. Penangkal utama dalam mengedukasi adalah bagaimana membedakan kebenaran informasi  dan  hoax. Verifikasi informasi menjadi penting untuk menguji kebenaran suatu informasi.

BACA JUGA :  Untuk Tujuan Ini, KPU Gandeng TP-PKK Maluku Bentuk Desa Peduli Pemilu

Media yang mampu melakukan verifikasi hanyalah media mainstream atau media massa dimana jurnalis bekerja yakni dengan memastikan kebenaran suatu informasi. Melakukan proses check and recheck karena diamanatkan oleh Undang-undang Pers nomor 40 / 1999.

Selain memverifikasi informasi yang patut diusung untuk mengedukasi masyarakat adalah menggunakan  jurnalisme damai, yakni konsep jurnalisme yang mengusung paham sensitifitas  dalam menyampaikan informasi.

Prinsip utamanya adalah  jurnalis tak cukup hanya objektif, dan tetap pada konsep independen tapi juga sensitive dan mengedepankan pesan damai dalam penyampaian informasi.

Makanya,  ada kerangka piramida terbalik dalam konsep jurnalistik. Jurnalis  mampu memberikan solusi dalam konflik yang sedang terjadi.  Itulah yang disebut dengan jurnalisme solusi. Ada kekuatan jurnalis  menawarkan solusi dari ketegangan yang terjadi, dengan konsep damai.

Jurnalisme damai tak hanya  berbicara soal dampak yang timbul akibat radikalisme tapi juga menuntaskan  dampak dari masalah itu tapi harus mengupas  akar dan cabangnya, hingga menawarkan solusi yang cerdas dan bermanfaat bagi banyak orang.

Jurnalisme damai adalah solusi bagi  praktek jurnalisme yang baik, dan sunyi, jauh dari propaganda tapi cenderung mengedukasi. Misalnya menyampaikan dampak atau bahaya bagi mereka yang terlibat dalam paham radikal ini.

Kerugian apa yang bisa ditimbulkan, dampak psikologis dan fisik bagi yang mengikuti,  serta contoh kasus seperti apa yang menunjukkan fakta efek dari paham radikal bagi kehidupan.

Jurnalisme damai cenderung menulis dengan narasi yang sederhana, memikat dan humanis dalam format feature atau softnews, meski fakta  yang diangkat adalah  persoalan berat, tapi ulasannya penuh dengan riset dan data yang valid. Sehingga bisa mencerahkan pembaca.

Ada sejumlah tulisan di media yang bisa membahayakan dan tidak pro terhadap perspektif jurnalisme damai.  Dalam situasi yang serba mengagetkan publik, media malah ikut menebar teror dengan menyebar berita yang mengamplifikasi keresahan publik. Seringkali bukannya  mengklarifikasi informasi keliru yang beredar melalui aplikasi WhatsApp dan media sosial lainnya, media justru menjadi corong dari informasi yang tak jelas bersumber dari mana. Dan cenderung menyebar desas-desus dan berita sensasional.

Salah informasi juga kerap dilakukan media. Contohnya saat ledakan  bom di jalan MH Thamrin, Sudirman, Jakarta, salah satu stasiun tv berita menurunkan  berita update tentang adanya  ledakan susulan di Slipi, Kuningan, dan Cikini, padahal informasi tersebut tidak benar. Alhasil informasi hoax sudah tersebar oleh media mainstream yang melahirkan stigma Jakarta mencekam karena dikepung bom.

Hal semacam inilah yang kemudian melahirkan kebencian dan kemarahan atas banyak hal, mulai dari stigma aparat lambat menangani, keamanan rakyat tak bisa dijamin hingga tuai kecaman terhadap keluarga teroris yang bisa jadi tidak tahu menahu sepak terjang pelaku.

Ini yang kemudian coba dieliminir atau dicegah oleh jurnalisme damai, yakni mencegah munculnya berita sensasional dan cenderung menjustifikasi atau menginfomasikan secara sepihak dengan infomasi yang belum diverifikasi.

Eksploitasi dan sensasionalitas korban atau pelaku yang didramatisasi secara berlebihan juga menjadi sebab simpati dan kebencian merebak. Gambar korban yang dieksploitasi, tatapan atau ekspresi pelaku yang tertangkap, atau dramatisasi lain yang dimunculkan secara berlebihan bisa melahirkan opini publik yang beragam.

Media harusnya lebih sensitive dalam menyampaikan berita. Visual dan reportasi dari tempat kejadian perkara yang dibuka secara utuh ke hadapan pemirsa misalnya bisa melahirkan dampak beragam dari pemirsa. Yang pro terhadap radikalisme inilah hal yang diinginkan, tujuannya tercapai. Bagi keluarga korban dan masyarakat umumnya bisa jadi semakin melahirkan kebencian.

Padahal ada beragam aturan yang menjunjung nilai etika jurnalistik yang harus diterapkan dalam proses kerja jurnalis. Mulai dari aturan Pedoman Perilaku Penyiaran/Standar Program Siaran KPI yang telah mengatur tentang peliputan terorisme, juga aturan  etika jurnalistik dalam UU Pers Nomor 40/1999 karena tidak sensitif pada korban dan penonton.

BACA JUGA :  Batik Air Hentikan Penerbangan Rute Ambon-Surabaya Dan Makassar

Semestinya jurnalisme merupakan navigator untuk memandu publik dalam menyeleksi informasi. Jurnalis dan media semestinya memberi cahaya bagi publik untuk menentukan pilihan berita dalam kesimpangsiuran informasi. Namun yang terjadi  jurnalis dan media ikut menyebar desas desus dan tidak mengedukasi publik.

Dalam jurnalisme damai, agar publik  tidak mudah percaya kepada berita-berita  hoax dan tidak terverifikasi di media mainstream dan kemudian ikut  membagikannya secara serampangan di media sosial, maka prinsip verifikasi dan akurasi menjadi kewajiban.

Jurnalisme damai menjadi cara efektif dalam pemberitaan paham radikalisme.  Memang hak semua orang untuk memilih komunitas identitasnya dan mengidentikan dirinya ke dalam kelompok tertentu. Namun, di atas semua itu, ada kewajiban sebagai warga negara yang telah diperjuangkan selama ini dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemahaman inilah yang menjadi acuan utama jurnalisme damai.

Gerakan radikalisme hingga terorisme  mengidentikkan diri dan kelompoknya sebagai pemilik kebenaran telah merusak tatanan harmonis kehidupan umat manusia. Hal ini tentu hanya bisa ditangkal dengan dua cara yakni cara persuasif  dan cara penegakan  hukum, kenapa bisa begitu karena Indonesia membutuhkan itu.

Cara persuasif ini adalah cara untuk mencegah penyebaran paham ini semakin massif dan merusak banyak tatanan kehidupan manusia tapi di sisi lain, harus ada efek jera pelaku melalui tuntutan hukum.

Upaya persuasif diantaranya dalam pemberitaan media menggunakan jurnalisme damai, karena hal yang patut dicerdaskan adalah pemahaman masyarakat atas ideologi ini, serangan non-fisik yang terjadi secara masif menyasar pola pikir dan pandangan masyarakat melalui internet dan sosial media. Karena itu perlu sensitifitas dalam penyampaian informasi.

Sebab pola yang digunakan oleh kelompok radikal  dan teroris semakin canggih. Bahkan, pola-pola yang digunakan itu, sering berganti. Ketika pola melawan dirasa tidak efektif, maka  pola  merangkul dipilih untuk memastikan tujuan mereka tersampaikan.

Jurnalisme Damai sebagai Jurnalisme Solusi

Jake Lynch (2008) menjelaskan, jurnalisme damai (peace journalism) adalah situasi ketika para editor dan reporter membuat pilihan mengenai apa yang akan dilaporkan dan bagaimana melaporkannya, yang menciptakan kesempatan bagi masyarakat luas untuk mempertimbangkan dan menilai tanggapan non-kekerasan terhadap konflik.

Jurnalisme Damai yang dirumuskan oleh John Galtung, Rune Ottosen, Wilhem Kempt,dan Maggie O’Kane ini bertujuan menghindari atau mencegah terjadinya kekerasan di masyarakat.

Pendekatan ini berprinsip membingkai laporan suatu kejadian lebih luas, lebih berimbang, dan lebih akurat dengan didasarkan pada informasi tentang radikalisme dan perubahan yang terjadi dengan mengarahkan penyampaian informasi yang berdampak pada perdamaian.

Pelaksanaan jurnalisme damai didasari tekad dan komitmen insan pers, mulai dari redaktur sampai jurnalis  untuk memilih cara penyelesaian masalah secara damai.

Jurnalisme damai merupakan cara atau pendekatan untuk mencegah kekerasan di masyarakat, membingkai atau memframing peristiwa atau informasi lebih berimbang, lebih akurat dan terverifikasi based on data dan bertujuan membangun perdamaian.

Jurnalisme damai menjunjung tinggi prinsip perdamaian dan pemahaman  bersama atas suatu isu dan peristiwa radikal yang dikemas secara humanis, persuasive dan tidak bombastis.

Dalam jurnalisme damai, topik pemberitaan yang dipilih tak hanya menyampaikan masalah tapi juga solutif. Teknis pemberitaan media berprespektif Jurnalisme Damai cenderung memilih diksi yang mendamaikan dan tidak provokatif

(Tulisan ini disampaikan dalam Pelatihan Tangkal Radikalisme untuk jajaran Binmas Polda Maluku, 2022)

*Ahli Pers Dewan Pers untuk Provinsi  Maluku

 

No More Posts Available.

No more pages to load.