Oleh: Husen Rumain
Presedium KAHMI Kota Ambon
Realisme-sosial menunjukkan saat ini hampir tidak ada lagi negara di dunia yang masyarakatnya homogen. Kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi menjadikan dunia makin mengglobal, meminjam istilah futurolog John Naisbit dan Alfin Tofler, dunia saat ini terasa makin sempit. Hal senada juga dikemukakan oleh ahli komunikasi Kanada, Mc Luhan, dunia merupakan suatu kampung besar global village (Siti Mania: 2010) Di era globalisasi saat ini manusia tidak dapat melepaskan diri dari kehidupan digital.
Globalisasi yang ditandai dengan kemajuan yang pesat pada bidang informasi dan komunikasi menjadikan dunia bagai desa buana. Setiap peristiwa yang terjadi pada belahan dunia lain dapat diakses dengan mudah oleh orang-orang pada belahan dunia lain pula. Negara dan batas-batas antar negara hanyalah soal administrasi, bukan lagi soal hakekat kebangsaan. Globalisasi yang disertai dengan perubahan sosial secara massif merupakan arus sejarah yang tidak dapat dielakkan (Achmadi: 2010)
Proses perjumpaan antara manusia yang berbeda latar belakang agama, etnis, budaya, bahasa, suku, ekonomi, sosial, politik dan idiologi merupakan konsekuensi logis dari terbukanya tatanan dunia baru. Tatanan dunia yang dinamis, evolusi sosial tetap terjadi dalam kehidupan manusia. Manusia terus mengalami perubahan-perubahan sosial dan terus berevolusi membentuk kebudayaan maupun kontrak- sosial baru. Telah menjadi hukum alam, kebudayaan bergerak menuju budaya yang kian maju, kian kompleks dan kian beragam. Semakin intens interaksi antara masyarakat, semakin beragam budaya yang akan dijumpai. Masyarakat tumbuh kian mengalami diferensiasi, kebudayaan berkembang terus mengalami kemajuan.
Gelombang globalisasi bukan hanya membawa nilai-nilai positif, tetapi juga mambawa bahaya perpecahan. Samuel P. Huntingtong dalam Junus E.E. Inabuy, memberikan gambaran berdasarkan kecenderungaan global yang ada, memprediksikan bahwa akan terjadi benturan besar antara dua kekuatan peradaban besar dunia, yakni kekuatan intoleransi Islam disatu pihak yang berkawan dengan fanatisme konfusionalisme melawan arogansi Barat dipihak lain (Junus E.E. Inabuy: 2013). Benturan ini disebapkan oleh berbagai macam faktor, baik faktor politik, sosial, budaya, ekonomi, ras dan agama.
Hukum besi evolusi menuju kompleksitas dan keberagaman yang semakin tinggi, dalam bahasa agama evolusi menuju kompleksitas yang beragam itu disebut sunnatullah. Bahkan tumpukan nuklir sekalipun tidak akan mampu menahan laju evolusi ini. Gelombang ini merupakan arus sejarah yang terlalu besar dan terlalu kuat untuk dilawan walau oleh kekuatan negara super power sekalipun (Denny J.A:2014). Gelombang globalisasi merupakan arus sejarah yang niscaya, menusia tidak dapat menghindari apalagi menutup diri dari perjumpaan dengan orang yang berbeda.
Ketika tatanan dunia yang merupakan hasil dari perjumpaan bangsa-bangsa yang berbeda semakin rumit, manusia dan bangsa-bangsa akan dihadapkan pada beberapa pilihan:
1) Masing-masing orang atau bangsa mempertahankan identitas dirinya dan memaksa orang atau bangsa lain mengikuti identis dirinya atau sebaliknya melepaskan identitasnya dan mengikuti identitas orang lain yang dianggap lebih maju dan sesuai dengan tuntutan zaman. Pada pilihan ini meniscayakan hegemoni kebudayaan dari kebudayaan mayoritas (maju/kuat) terhadap kebudayaan yang minoritas (lemah/terbelakang). Orang akan tercerabut dari akar identitasnya mengikuti arus kebudayaan yang dominan;
2) Melepaskan semua identitas yang ada dari semua orang dan bangsa-bangsa di dunia yang saling berjumpa dan membentuk suatu identitas baru. Identitas yang merupakan hasil pencampuran dari semua identitas yang ada, tidak ada identitas asli, mayoritas-minoritas, semua identitas dihilangkan dan membentuk suatu tatanan dunia baru yang menyeragamkan semua manusia dari semua aspek;
3) Sikap menerima semua identitas yang ada. Semua dibiarkan tumbuh, berkembang, saling menerima, menghargai, memahami sebagai suatu keniscayaan dari hukum alam. Masing- masing orang atau bangsa berhak dan diberi kebebasaan untuk mempertahankan nilai-nilai kebenaran yang berasal dari akar budayanya dan diberi ruang untuk terus berkembang sebagai bentuk penerimaan atas identitas yang berbeda. Hal ini akan membentuk suatu harmoni yang indah buat tatanan dunia baru, tatanan yang lepas dari benturan peradaban dan hegomoni, suatu tatanan dunia tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun.
Indonesia merupakan salah satu negara paling kompleks keberagaman terbesar di dunia. Pluralisme masyrakat Indonesia merupakan suatu tantangan (challenge) sekaligus peluang (opportunity) yang jarang sekali terjadi dalam sejarah umat manusia, terutama dalam perspektif agama. Tantangan karena keragaman agamanya, terutama karena agama-agama dunia dapat menjadi sumber lahirnya konflik yang sangat serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk juga beragama. Bawaan nilai-nilai moral, etis dan spiritual agama-agama dunia yang inheren, dapat menjadi pemicu terjadinya konflik-konflik tersebut. Peluang, keragaman agama dapat tertangani secara baik, kemungkinan konflik dapat beruba menjadi dukungan moral, etis dan spiritual yang positif bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (John. A. Titaley: 2013)
Kenyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Keragaman bangsa Indonesia jika tidak dikelola denngan baik akan dapat menimbulkan berbagai persoalan sosial, kemiskinan, kekerasan, perusakan lingkungan, separatisme dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk menghormati hak-hak orang lain. Hal ini merupakan bentuk nyata sebagai bagian dari konsekuensi logis multikultural. Berbagai potensi masalah yang timbul kompleksitasnya cenderung berujung konflik banyak terjadi didalam masyarakat yang beragam. Sebagai negara yang tediri dari berbagai latar belakang sosial budaya meliputi ras, suku, agama, status sosial, mata pencaharian dan lain-lain bangsa Indonesia berada dalam bayang-bayang perpecahan (disintegrasi). Bangsa Indonesia sebagai masyarakat multikultural terbesar di dunia dihadapakan pada kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali kebudayaan nasional Indonesia yang dapat menjadi integrating force yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut (Dwi Fanda Larasati: 2011).
Wajah multikultural di Indonesia hingga kini bagaikan api dalam sekam, yang suatu saat bisa muncul akibat pengaruh suhu politik, agama, sosial, budaya maupun kepentingan ekonomi yang memanas dan memungkinkan konflik tersebut muncul kembali. Tentu penyebab konflik banyak sekali tetapi kebanyakan disebabkan oleh perbedaan politik, suku, agama, ras, etnis, budaya dan kepentingan ekonomi. Beberapa kasus yang pernah terjadi di tanah air yang melibatkan kelompok masyarakat disebapkan oleh ketidak meampuan mengelola kepelbagaian tersebut. Kepentingan sahwat politik dan ekonomi dibungkus dengan rapi dibalik jastifikasi kebanggan ras, budaya, suku dan kebenaran agama. Pendekatan konfensional, taklik dan buta terhadap teks-teks agama yang dianggap sebagai Faksimile lansung dari surga (tuhan) menjadikan pemeluk agama kehilangan nilai-nilai kemanusiaan (John Titaley:2023). Tidak ada kebenaran diluar diri, kelompok dan agamanya, agama yang seharusnya menjadi pelindung manusia dan kemanusian, berubah wujudnya menjadi mesin pembunuh kemanusiaan. Banyak penghutbah (imam dan pendeta) namun banyak pula pemeluk agama yang menjadi pelaku kejahatan, agama mengalami kegagalan dalam memanusiakan manusia.
Pasca lengsernya Soeharto Mei 1998, iklim demokrasi Indonesia terbuka lebar, kebebasan perpendapat yang selama 32 tahun tersandra hegemoni militer, mendapat angin segar reformasi. Setiap orang merasa bebas berpendapat tanpa ada yang harus membatasi. Reformasi sistem ketatanegaraan mengalami bias ke semua sektor kehidupan masyarakat. Aliran demokrasi yang terbuka lebar tak terbendung melahirkan euforia kebebasan. Demokrasi dimaknai sebagai kebebasan berpendapat dan bertindak atas dasar kepentingan tanpa terbatasi. Rakyat Indonesia yang belum siap dengan alam serba bebas memaknai berlebihan arus reformasi. Hilangnya kepercayaan rakyat terhadap institusi-institusi negara yang selama ini disakralkan mengakibatkan lemahnya kontrol negara terhadap setiap aktivitas rakyat. Setiap orang merasa benar melakukan apa saja sesuai dengan standar kebenaran pada dirinya.
Peristiwa amuk masa di beberapa daerah di Indonesia merupakan konsekuensi logis melemahnya tatanan hidup masyarakat. Kerusuhan di Timor-Timur dan Pekalongan tahun 1995, kerusuhan di Kalimantan Barat tahun 1996-1997, kerusuhan di Rengasdengklok tahun 1997, kerusuhan di Ambon, Papua, Aceh, Posso tahun 1999, Kerusuhan di Sampit Kalimantan Timur tahun 2000, kerusuhan Ketapang dan Kupang, konflik suku di Papua dan Maluku serta beberapa daerah lain yang sampai saat ini masih terus terjadi dan sewaktu-waktu bisa meledak jika tidak diantisipasi secara dini (Zubaedi:2009). Deretan konflik ini merupakan gambaran nyata pudarnya rasa kebangsaan dan kemanusiaan. Meminjam istilah Hasbollah Toisuta, benih-benih radikalisme saat ini tumbuh bagai “cendawan di musim hujan” (Hasbollah Toisuta: 2015)
Ancaman disintegrasi bangs dan arogansi kesukuan dapat saja timbul tanpa dapat terkendali. Hal ini membuktikan bahwa sistem ketatanegaraan dalam memperkuat kebudayaan nasional kurang antisipatoris. Disparitas pembangunan Jawa dan luar Jawa, Timur dan Barat bagai lubang neraka yang sewaktu-waktu dapat membakar tatana Nasional dan kebangsaan Indonesia. Ruh konstitusi negara (Pancasila 1 Juni 1945) hanyalah menjadi dokumen sejarah yang terlupakan tanpa tafsir makna kearifan pendiri bangsa dalam merajuk benang-benang ke-Indonesian. Lembaga pendidikan yang diharpakan menjadi wadah tranformasi nilai kesadaran multikultural malah menjadi produsen ilmuan tukang yang sangat teknikal. Lembaga pendidikan yang diharapakan melahirkan para teknokrat yang bermanfaat bagi pembangunan bangsa telah kehilangan ruh kecendiakawannya, terhempas oleh kepentingan pasar dan Industri. Nation state yang menjadi cita-cita luhur kemerdekaan bermetamorfosis menjadi menjadi negara pasar (liberal).
Prodak lembaga pendidikan (scientist) di era digital sejatinya harus menjungjung dan selalu menjadi pendukung sejati diri nilai-nilai luhur bangsa. Budaya Nusantara yang ber- Bhineka Tunggal Ika menjadi lingkungan pertama dalam pengembangan IPTEK Nusantara dan Revolusi Industri berkemajuan berbasis akar budi dan batin Nusantara pada diri generasi anak bangsa Indonesia sebagai zona proksimal terbentuknya pribadi manusia Indonesia. Pendidikan Nasional yang berakar kuat pada nilai-nilai luhur Pancasila mesti dapat meng-Indonesiakan generasi muda bangsa di negeri ini dalam karakter bangsa yang mulia (Aholiab Watloly: 2022). Cara pandang seperti inilah yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa ketika mendesain kemerdekaan Indonesia. Cita-cita besar untuk mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur, menjadi rumah bersama bagi semua entitas bangsa.
Khusus untuk Maluku, pasca ledakan konflik 1999, masyarakat Maluku disadarkan betapa relasi-relasi sosial organik, baik agama maupun budaya di Maluku sedang berada dalam masalah. Kehormatan kerena pernah menjadi daerah paling toleran sekaligus icon miniatur perdamaian Indonesia mendadak dipertanyakan, digugat, sebagai konsekuensi terusan dari sederet koreksi atas perkembangan dan perubahan sosial yang bergerak sangat dinamis dengan kadar kompleksitas tinggi. Nilai-nilai budaya dan cara pandang beragama yang membentuk identitas ke-Malukuan menjadi sangat serius dipertanyakan berbagai kalangan. Seolah klaim sebagai model dan icon perdamaian di Indonesia hanya klise, kebanggaan atas khazanah kearifan lokal (local wisdom) dan icon perdamaian hanya menjadi fatamorgana.
Kondisi ini memaksa kita untuk memikirkan kembali format dan konsep kebangsaan dan ke-Malukuan kita. Merekonstruksi kembali kesadaran kembangsaan dalam bingkai ke-Malukuan untuk membangun perdamaian sejati yang berdasarkan nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika. (***)
**) Ikuti berita terbaru Terasmaluku.com di Google News klik link ini dan jangan lupa Follow