Hingga kini, setiap kali saya akan memulai menulis lagi kisah demi kisah yang saya alami langsung dalam liputan konflik atau bencana. Setiap kali itu pula takan tuntas. Perasaan akan mendominasi dan saya akan berhenti seketika. Dada sesak dan air mata tumpah. Seperti saat ini. Jika ini adalah kertas, mungkin tinta sudah bernoda karena tertimpa air mata yang menetes.
Tapi jika saya tak kunjung menulisnya, mungkin takan pernah ada yang belajar dari kisah saya, apa yang harus dipersiapkan jika ingin meliput konflik dan bencana. Saya harus memenuhi janji saya pada jurnalis perempuan pemula, adik-adik saya yang akan mengikuti jejak saya menjalani profesi ini dengan benar. Agar jangan mengalami apa yang saya alami.
Saya memulai meliput peristiwa yang cukup berbahaya, ketika meliput di Tentena, Sulawesi Tengah ketika konflik terjadi di sana dan saya mengikuti rombongan tentara Taro Ada Taro Gau dari Pare-Pare karena saya sedang bertugas untuk Parepos, anak perusahaan Fajar Grup, tahun 1999-2000. Inilah pertama kali saya meliput konflik horisontal dan masuk ke wilayah konflik dan berbasis Kristen.
Saya jurnalis perempuan berjilbab dengan simbol agama yang cukup jelas. Namun anehnya, tanpa rasa takut saya masuk ke wilayah yang baru tuntas konflik, rumah-rumah rusak hancur, orang-orang dengan tatapan marah dan curiga pada saya yang melintas di jalan-jalan di Kota Tentena, meski sedikit kuatir, namun saya harus mewawancarai warga, mengambil foto, mendengar kisah mereka. Saya tidak takut tapi kuatir. Itulah perasaan yang mendominasi.
Meski datang dengan tentara, namun untuk mengetahui kejujuran saya harus melepas diri sejenak, saya minta dikawal namun dalam jarak yang cukup jauh agar warga tak segan berbicara pada saya. Saya tanpa segan duduk diantara segerembolan pria di depan sebuah wartel, mendengar mereka bercerita. Saya memposisikan diri sabagai pendengar yang baik. Apa yang mereka inginkan, tanpa banyak bertanya.
Kisah mereka kemudian saya tulis sebagai catatan perjalanan di halaman satu Parepos. Saya tahu mereka marah, tapi marah pada keadaan yang menyebabkan mereka saling serang dan membunuh saudara sendiri. Saya memotret saksi bisu rumah-rumah yang hancur dan terbakar, serta rumah-rumah utuh dengan simbol salib di pintu-pintu rumah.
Lalu informasi datang dari Ambon, adik saya, tertembak hingga tembus kepala, ia sekarat di Rumah Sakit AlFatah. Saya harus pulang. Bertepatan dengan itu Ambon Ekspres akan buka di Ambon, wadah bagi jurnalis muslim yang sulit mengakses Suara Maluku di Halong. Saya lantas meminta rekomendasi Pak Hazairin Sitepu Direktur di Fajar grup agar boleh pulang dan bergabung dengan Ambon Ekspres.
Bersyukur, Heri Assianto, adik saya, yang tertembak di depan lorong Lippobank, selamat, meski peluru menembus kepalanya, namun saya bersyukur, ia selamat. Pulang ke Ambon, konflik masih berkecamuk. Jalan Jenderal Sudirman, Batumerah masih sulit diakses. Beberapa kali bahkan masih dicegat dan dipaksa membaca sejumlah ayat Quran untuk memastikan saya muslim, padahal saya terlahir di Ambon, dan mereka yang mencegat saya adalah kawan-kawan SD-SMA saya. Namun demikianlah kecurigaan yang terlalu kuat yang menyebabkan saya harus menghadapi kondisi itu.
Ambon Ekspres masih terbit mingguan dan dicetak di Percetakan Fajar di Makassar. Pak Ahmad Ibrahim sebagai pimpinan redaksi saat itu masih berada di Makassar untuk menerima file koran untuk dicetak dikirim kembali ke Ambon. Saat itu, hanya ada lima jurnalis yang merangkap. Saya merangkap menjadi redaktur, memegang halaman Kota Ambon dan daerah. Ongki Anakoda redaktur pelaksana yang memegang halaman satu. Nasri Dumula, almarhum Hamid Kasim, dan Susan Warandi serta almarhum Bahri Saha. Berat memang, sebab harus mengcover semua peristiwa yang tak kunjung usai. Konflik Masih meradang. Bom dan bunyi tembakan masih terus terjadi siang malam.
Mengenaskan dan paling mengerikan adalah ketika melihat mayat di selokan-selokan keesokan paginya, atau terjebak meliput pasukan Yonif Gabungan yang menyergap warga. Karena adanya pertarungan antara laskar jihad dan tentara. Menjadi saksi peristiwa adalah persoalan yang tak tuntas hingga kini. Menyaksikan manusia dibantai di depan mata bukan soal yang mudah. Trauma, pasti, ditambah lagi, ketika tulisan itu ditayangkan di Koran keesokan harinya. Teror tak hanya datang dari tentara, tapi warga juga laskar jihad. Salah mereportase, nyawa taruhannya.
Stigma koran Muslim dan Kristen begitu kuat melekat. Maka tak heran ketika pulang ke Ambon saya memutuskan melepas jilbab. Meski tak lama dan masih kamuflase menggunakan jaket berkapucon untuk tetap tak terlalu terlihat tak berjilbab, karena saya masih mengalami, dimaki ketika berjilbab melintasi wilayah tertentu. Simbol agama terlalu jelas. Berbeda dengan perasaan ketika meliput di Tentena, meliput di Ambon, bukan kuatir tapi takut. Entah mengapa.
Saya belum bisa menulis detail apa yang saya saksikan dalam liputan-liputan konflik itu. Bagaimana imbasnya ketika saya bersaksi dalam sebuah jumpa pers oleh Panglima tertinggi saat itu saya bahkan balik ditanya dengan kalimat yang sangat melecehkan saya sebagai jurnalis perempuan, ” Kenapa kamu tak sekalian diperkosa,” itulah salah satu resiko menjadi jurnalis perempuan yang meliput konflik ketika itu.
Saya, belum mampu menulis lebih jauh, tapi setidaknya inilah ilustrasi yang bisa saya sampaikan saat ini. Meliput konflik dimanapun di dunia teramat sulit. Suka atau tidak perasaan traumatik akan terbawa sepanjang usia, dan hingga kini saya masih merasakan kesedihan itu.
Selamat Hari Kebebasan Pers. Semoga semua orang memahami pentingnya jurnalis mengabarkan pesan pada dunia.
Salam kemerdekaan Pers. Gong Perdamaian Dunia, Ambon 3 Mei 2018.