Membaca Psikologi Politik Pascapemilihan Oleh : Korneles Balak Pengajar di UKIM Ambon

oleh
oleh
Korneles Balak,Pengajar di Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, FISIP UKIM.

HARI Pencoblosan, 17 April 2019, sudah lewat. Rakyat, pemilik hak suara, sudah menentukan pilihan untuk memilih Presiden, Wakil Presiden maupun Wakil Rakyat (DPR, DPRD, DPD). Kini, penyelenggara Pemilu sedang merekapitulasi suara untuk menentukan yang berhak menang di beberapa level dan tingkatan, pusat dan daerah.
Ada banyak fakta menarik menjelang, saat, dan pascapencoblosan kemarin. Semuanya mengarah ke peningkatan eskalasi politik tingkat tinggi. Di saat-saat itu, banyak terjadi kejadian unik yang justeru membuat suasana pemilu semakin hangat diperbincangkan.

Untuk menyebut beberapa, terdapat fenomena pencoblosan dua atau tiga kali di TPS berbeda. Ada dugaan politik uang. Masyarakat menyebutnya gejala kancing bayar. Dalam kasus kancing bayar, beberapa elite politik memberikan uang kepada konstituen agar dipilih pada saat kontestasi. Menariknya, ketika tidak dipilih, caleg yang melakukan praktik kacing bayar meminta kembali sejumlah uang yang telah diserahkannya kepada konstituen.
Pertanyaan penting kemudian ialah bagaimana kita dapat menjelaskan beberapa fenomena unik di atas?

Pertanyaan seperti ini laik diajukan karena berbagai analisis sosial dan politik sudah banyak dilakukan oleh banyak pihak dari beragam perspektif. Meski demikian, fenomena politik uang dan kecurangan politik masih saja terjadi.
Karena itu, tulisan ini ingin membahas beragam fenomena itu dari kaca mata psikologi politik. Pilihan analisis dari pendekatan psikologi politik disebabkan bukan karena ketidakmampuan pandangan lain menjelaskan fenomena itu. Penggunaan pendekatan psikologi politik hanya didasarkan pada kekuarangdalaman banyak pandangan itu menjelaskan kecurang dan kecerobohan elite politik dalam setiap kontestasi politik.

Psikologi Politik

Herman (Hamid Muluk, 2010) menjelaskan bahwa psikologi politik merumuskan proses interaksi antara fenomena politik dan fenomena psikologi. Interaksi ini terjadi melalui dua arah. Sebut saja misalnya terjadi pelenggaraan di dalam penyelenggaraan pemilu. Satu orang bisa mencoblos dua atau tiga kali dalam TPS yang berbeda. Kondisi ini justeru memicu tensi politik makin panas.

Di ruang yang lain, uang menjadi dewa yang bisa mengatur segala-galanya. Berhubungan dengan realitas itu, Michael Bienert (dalam Reza, 2015) menjelaskan tentang posisi uang dalam politik. Menurut Bienert, yang menggunakan uang dalam politik masuk dalam kategori entitas yang krisis akal sehat. Menurutnya, uang dalam masyarakat modern telah menjadi sedemikian terlepas dari kontrol manusia. Akibatnya, bukan manusia yang mengontrol uang, malainkan uang yang mengontrol manusia.

BACA JUGA :  Gempa Guncang Masohi, Tidak Berpotensi Tsunami

Reza (2015) juga menjelaskan bahwa manusia modern menjadi buta. Disebut buta karena manusia modern tidak bisa membedakan, mana yang merupakan alat dan mana yang merupakan tujuan. Merujuk Russel, demokrasi itu merupakan proses di mana orang-orang memilih seseorang yang kelak akan disalahkan, sesungguhnya akan terjadi. Logikanya, jika seseorang membayar suara rakyat dengan uang, maka kelak ia pun akan mencari akal untuk menggantikan kerugian besar yang dikeluarkannya saat proses pemilihan itu. Implikasi lanjutannya, muncul ketidakpedulian mereka terhadap kepentingan rakyat. Kekecewaan rakyat terhadap mereka mendapatkan kepenuhan di sini.

Realitas Kita

Beberapa kejadian seperti disebut pada bagian pertama di atas khas menunjukkan bahwa politik kita memang tengah berjalan dalam lorong kekalutan akut. Realitas kecurangan, perilaku aneh politisi, politik uang, dan beberapa gejala lain cenderung menafikan esensi demokrasi. Secara psikologis, realitas politik kita memang tengah sakit. Disebut demikian karena semua aturan dan tata cara yuridis yang telah digariskan bersama mudah sekali dikianati untuk kepentingan diri dan kelompok. Realita demikian pun menunjukkan, demokrasi kita juga sedang sakit jiwa. Sakit jiwa politik dan demokrasi.

Dalam konteks itu, uang menjadi segala-galanya. Logika kaum humanis yang menyebut manusia harus mengontrol kerja uang, sekarang menjadi terbalik. Uang dengan amat sistematis mengontrol kerja manusia yang adalah pencetak uang itu. Sebuah kontradiksi sosial dan psikologis terjadi dengan amat vulgar di sana. Dalam beberapa kasus, caleg yang gagal meminta kembali uang yang telah diberikan kepada konstituen.

Yang lainnya, beberapa keran air terpaksa dicabut hanya karena caleg tersebut gagal lolos. Dua fenomena ini tidak saja menafikan kemanusiaan manusia. Di titik yang paling dalam, kondisi ini dapat dibaca sebagai sakitnya manusia sehat politik. Manusia politik akhirnya harus menghambakan dirinya tidak saja kepada politik tetapi terutama kepada uang. Tragis nian.

Kasus politik uang demikian khas memberitahukan bahwa politik sungguh membutakan mata hati manusia modern. Politik ternyata mampu membendung dorongan kemanusiaan manusia yang secara sosial memiliki karakter interaktif. Fatalnya, karakter interaktif di dunia politik ternyata berjalan tidak linear dengan interaksi sosial. Di situ, gejala sakit psikologis nampak jelas. Implikasi praktis politik uang ialah pilihan rakyat tidak berdasarkan rekam jejak seseorang. Pilihan rakyat kemudian diukur dan dihitung berdasarkan kalkulasi uang. Modal sosial menjadi amat disingkirkan secara sistematis di sana.

BACA JUGA :  Ketua Dewan Masjid Ajak Pemuda Muhammadiyah Jaga Demokrasi

Transformasi Kesadaran

Penjelasan di atas menunjukkan bawah pemilihan umum yang sudah berulang kali dijalankan ini, sepertinya tidak memupuk kesadaran kolektif kita. Yang terjadi ialah sekat kesadaran kolektif semakin menjauh. Jika tidak dilakukan upaya perbaikan, proses demokrasi kita akan terus berkembang dengan praktik-praktik busuk yang merusak marwah demokrasi bangsa.

Hemat saya, upaya perbaikan dapat dilakukan dengan beberapa langkah berikut ini. Pertama, mengubah cara pandang. Dalam Pemilu, kita selalu merasakan sesuatu yang belum atau bahkan tidak cukup. Hampir semua elemen politik nyaris menyebutkan frasa itu. Jika elite politik menyebut belum memiliki modal finansial yang memadai untuk untuk mengikuti konstetasi, rakyat pun menyebut belum cukup jika tidak disertai transaksi politik di saat-saat akhir. Rasa tidak cukup dengan perspektif ini mesti diubah. Saatnya memikirkan rakyat dalam bingkai demokrasi substantif harus dikedepankan.

Kedua, mengubah perilaku berpolitik. Etika berpolitik adalah esensi dasar dari politik itu sendiri. Inilah roh yang hilang dalam politik kita. Konten politik kita hari ini nyaris minus etika politik. Etika politik mengalami alienasi (keterasingan) menurut pandangan kaum Marxian.

Ketiga, pendidikan politik. Rupa pendidikan politik kita hari ini seolah mendapat tamparan yang keras. Bagimana tidak, eskalasi politik kita jauh dari ekspektasi. Implikasi langsungnya, didikan politik yang tidak sehat merendam fakta rasionalitas manusia sehat. Solusinya, prinsip untuk menanamkan esensi pemilu itu sendiri yakni jujur, adil dan terbuka mesti ditegakan pada semua elemen tidak terkecuali satu pun.

Akhirnya, perubahan bisa dilakukan. Itu dimulai dengan menyembuhkan sakit psikologis sistem politik dan elite politik kita terlebih dahulu. Kembali membangun kesadaran diri dan keinginan keras untuk disiplin merupakan hal urgen yang harus dilakukan. (Korneles Balak, Pengajar di Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, FISIP UKIM)

No More Posts Available.

No more pages to load.