DEMAN Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh vektor nyamuk Aedes aegypti melalui gigitannya. Menurut Arsin AA (2013) Virus dengue berada dalam darah selama 4-7 hari, mulai 1-2 hari sebelum demam (intrinsic incubation period). Di dalam tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas selama 4-6 hari sebelum menimbulkan penyakit. Karena virus dengue ditularkan oleh nyamuk sehingga penyakit DBD termasuk dalam kelompok arthropoda borne disease.
Virus dengue dapat terus tumbuh dan berkembang dalam tubuh manusia dan nyamuk. Terdapat tiga faktor yang berperan pada penularan virus dengue yaitu manusia,virus, dan vektor perantara. Virus dengue masuk ke dalam tubuh nyamuk pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, kemudian virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Penularan ini terjadi karena setiap kali nyamuk menggigit (menusuk), sebelum nyamuk menghisap darah akan mengeluarkan air liur melalui saluran tusuknya.
Bersama air liur inilah virus dengue ditularkan dari nyamuk ke orang lain. Hanya nyamuk betina yang dapat menularkan virus dengue karena berguna untuk memproduksi telur. Jadi, penyebaran penyakit DBD dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya host (manusia), agent (virus), dan environment (lingkungan baik fisik, kimia, biologi, maupun sosial) ketiga faktor tersebut memiliki hubungan yang saling berkaitan dimana lingkungan yang memberi kontribusi terhadap perkembangbiakan vektor nyamuk (aedes).
Insiden Penyakit dan Faktor Risiko
Di Kota Ambon, DBD merupakan salah satu penyakit yang endemis di beberapa kawasan seperti kayu putih, lateri, dan halong. Menurut data Dinas Kesehatan kota Ambon tahun (2015-2018). Pada tahun 2015 tercatat 25 kasus, 2016 tercatat 26 kasus, 2018 tercatat 2 kasus. Dan pada pertengahan Februari (2019), Dinas Kesehatan Kota Ambon mencatat sebanyak 49 kasus DBD terdapat di Ambon meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Artinya bahwa insiden DBD masih fluktuatif sangat tergantung dari dinamika lingkungan, demografi dan intervensi yang dilakukan. Masyarakat yang berisiko tinggi terserang DBD umumnya adalah anak-anak usia 2-10 tahun dan orang dewasa.
Meningkatnya kasus DBD di kota Ambon dikarenakan adanya faktor risiko yaitu karena perubahan cuaca, kepadatan penduduk, dan kurangnya menjaga kebersihan lingkungan yang menyebabkan nyamuk dapat berkembang biak disana. Nyamuk aedes umumnya dapat berkembang biak pada genang air yang tenang misalnya pada Tempat Penampungan Air (TPA) yang dipergunakan sehari-hari seperti drum, tempayan, bak mandi, wadah plastik berisi air, ember dan sebagainya.
Ada juga tempat berkembangbiak non-TPA seperti vas bunga, tempat minum burung, botol-botol bekas, kaleng, dan sebagainya. Selain itu tempat penampungan air alamiah seperti lubang pohon, pelepah daun, dan lubang batu dapat menjadi tempat perindukan nyamuk. Nyamuk aedes juga menyukai wadah yang berwarna gelap, terbuka lebar, dan terlindungi dari sinar matahari. Oleh sebab itu, diperlukan upaya pencegahan yang tepat dan dinamis untuk mengatasi kasus Demam Berdarah Dengue (DBD).
Menuju Ambon Bebas DBD
Selama ini, upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah kota Ambon untuk menurunkan insiden DBD yaitu dengan melakukan pengasapan (fogging), abatesasi, serta mengimbau masyarakat untuk menerapkan gerakan 3M (Menutup, Menguras, dan Mengubur) namun upaya tersebut belum efektif membasmi nyamuk aedes. Berdasarkan data insiden, kasus masih fluktuatif, hal tersebut menandakan bahwa intervensi yang dilakukan belum secara holistik dan berkelanjutan. Oleh karena itu perlu dirumuskan program pengendalian yang mampu menurunkan atau menekan populasi vektor nyamuk serendah-rendanya. Prinsip yang perlu diperhatikan dalam pengendalian yaitu pengendalian harus menerapkan berbagai macam cara sehingga populasi vektor tetap berada di bawah garis batas yang tidak merugikan dan pengendalian yang dilakukan dengan tidak menimbulkan kerusakan.
Strategi pengendalian vektor nyamuk dapat dilakukan dengan pendekatan holistik untuk mengelola populasi vektor dengan didasarkan pada pemahaman tentang hubungan (lingkungan, vektor, dan manusia), pemilihan intervensi yang hemat biaya dan berkelanjutan, berbasis bukti, dan mengembangkan kolaborasi multistakeholder dimana diimplementasikan pengendalian vektor secara terpadu misalnya memadukan edukasi, pengelolaan atau manipulasi lingkungan dengan cara menghindari tempat perindukan nyamuk yaitu tidak menyediakan atau membiarkan adanya genangan air baik di dalam (indoor) maupun luar rumah (outdoor), menghentikan kebiasaan menggantung pakaian di dalam rumah karena secara tidak langsung kita telah menyediakan tempat yang nyaman untuk nyamuk hidup dan berkembang biak. Hal inilah yang menjadi kunci utama yang perlu diperhatikan untuk menghindari wabah DBD.
Selain itu, kesadaran dari invidu masyarakat sangat dibutuhkan untuk menjaga kebersihan lingkungan sekitar dengan menerapkan gerakan 3M : Menguras (Membersihkan tempat penampungan air seperti drum, tempayan, bak mandi, ember dan lain-lain secara rutin paling tidak 1-2x seminggu), Menutup (Menutup rapat-rapat tempat penampungan air agar nyamuk tidak dapat masuk dan berkembang biak didalamnya), dan Mengubur (Mengubur barang-barang bekas seperti botol, kaleng, vas bunga dan sebagainya).
Selain itu, dapat dilakukan implementasi melalui pengendalian secara biologi yang ramah lingkungan misalnya budidaya ikan hias predator jentik nyamuk seperti Ikan cupang (Betta sp), Ikan Guppy (Poecilia reticulata), atau Ikan Mas (Cyprinus carpio), menanam tanaman anti nyamuk seperti tanaman sereh wangi (Cymbopogon nardus), tanaman lavender (Lavandulua latifolia), tanaman jeruk (Citrus sp) atau tanaman geranium (Pelargonium citrosa), serta pengendalian menggunakan insektisida nabati atau dikenal dengan biolarvasida.
Mewujudkan kota Ambon bebas Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan tanggung jawab kita bersama oleh sebab itu sangat diperlukan dukungan, kerjasama, dan partisipasi aktif dari semua pihak baik pemerintah kota/daerah, masyarakat, maupun individu melalui implementasi secara terpadu.
Adonia Felma Mosse, Mahasiswa Fakultas Bioteknologi UKDW Yogyakarta