KONDISI Nilai Retorika Antek Asing Lemahkan Media Independen dan Gerakan Warga

oleh
Ilustrasi (Gambar Istimewa)

TERASMALUKU.COM,-AMBON– Kelompok Kerja Anti-Disinformasi Indonesia (KONDISI) menyesalkan adanya serangan terhadap media independen yang memberitakan terkait aksi unjuk rasa dituduh sebagai antek asing. Retorika antek asing dinilai sebagai pelemahan media independen dan gerakan warga.

Sedikitnya 107 unjuk rasa untuk merespon pelbagai permasalahan bangsa, berlangsung di 32 provinsi di Indonesia sejak 25 Agustus hingga awal September 2025.

Sejumlah organisasi masyarakat sipil mencatat ada 10 orang yang tewas, lebih dari 3.000 orang ditangkap di 20 kota oleh polisi, dan 10 orang hilang.

Selain itu, berbagai kekerasan fisik, penangkapan, dan serangan digital menargetkan jurnalis, media, dan aktivis yang memberitakan unjuk rasa atau memberikan pendampingan terhadap para korban.

“Sepekan terakhir ini, KONDISI mengamati serangan disinformasi dan propaganda yang intens di ruang digital, salah satunya adalah serangan disinformasi terhadap media independen dan organisasi masyarakat sipil. Mereka dituduh menerima pendanaan dari lembaga asing yang bertujuan menggerakkan demonstrasi tersebut. Serangan ini beredarmasif di platform X,” ungkap Direktur KONDISI Damar Juniarto melalui siaran pers yang diterima pada Senin (8/9/2025).

KONDISI mendeteksi akun media sosial @BrianJBerletic dan @DagnyTaggart963 diplatform media sosial X pada 5 September 2025 telah menyebut Tempo, Project Multatuli, Konde, Remotivi, LBH Jakarta, BEM SI dan KSPSI, berada di belakang aksi demonstrasi karena menerima pendanaan dari Eropa dan Amerika Serikat. Selain itu akun tersebut menuduh adanya bias pada media BBC Internasional dalam menutupi keterlibatan pemerintah Amerika dan Eropa pada gerakan yang dimotori Aliansi Perempuan Indonesia (API) dan Amnesty International Indonesia. Postingan ini kemudian di-repost oleh sejumlah pemengaruh (influencer) dan buzzer-buzzer politik di Indonesia.

Sebelumnya, media Rusia Sputnik memuat wawancara dengan Angelo Giuliano, seseorang yang disebut sebagai analis geopolitik, yang menduga keterlibatan The National Endowmentfor Democracy (NED) dan Open Society Foundation yang didirikan George Soros di balikdemonstrasi di Indonesia.

KONDISI mencatat serangan disinformasi dan propaganda yang membingkai adanya keterlibatan asing kerap digunakan saat publik menggelar protes atas kebijakan penguasayang tidak berpihak pada rakyat. Pada Maret 2025 lalu misalnya, saat publik memprotes revisi UU TNI, sejumlah akun di media sosial menuding Tempo dan aktivis KontraS sebagai antek asing. Konten-konten dengan narasi sejenis itu menyebar serentak, tak lama setelah aktivis KontraS menerobos rapat tertutup pembahasan RUU TNI di Hotel Fairmont, Jakarta, Sabtu, 15 Maret 2025.

Retorika politik antek asing yang dialamatkan pada media independen dan organisasi masyarakat sipil/non-pemerintah juga secara intens dilontarkan oleh pejabat negara termasuk Presiden Prabowo Subianto.

Pada 15 Februari 2025, saat warga menggelar protes daring #IndonesiaGelap, Prabowo menuding adanya intervensi pihak asing memecah belah bangsa melalui LSM dan media yang mereka biayai. Retorika itu kembali diulangi Presiden Prabowo pada pidatonya pada upacara peringatan Hari Lahir Pancasila di Gedung Pancasila, Jakarta Pusat, 2 Juni 2025.

Pada saat demonstrasi akhir Agustus 2025, Kepala Badan Intelijen Negara Abdullah Mahmud Hendropriyono juga menuduh ada pihak asing yang berada di baliknya.

KONDISI menilai retorika “antek asing menunggangi media independen” merupakan serangan terhadap kredibilitas media yang justru selama ini memiliki rekam jejak yang baik, profesional dan menjadi garda terdepan dalam mengabarkan apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia.

Retorika semacam ini jelas mengabaikan fakta bahwa media independen bekerja dengan menerapkan kode etik jurnalistik dan disiplin verifikasi yang ketat dalam proses kerja redaksinya. Model-model pendanaan dan bisnis yang dikembangkan oleh media independen jelas bukan untuk mencampuri editorial dan isi pemberitaan.

Begitu pula dengan pendanaan yang diberikan kepada organisasi masyarakat sipil bukan dipakai untuk membiayai kerusuhan, tetapi penguatan organisasi.

Selain itu, retorika antek asing tersebut juga meremehkan dan mengabaikan fakta bahwa setiap warga negara memiliki hak dan independensi untuk melontarkan kritik dan menggalang aksi protes untuk menuntut akuntabilitas pemerintah dan elite politiknya. Oleh karena itu, menuding aksi protes dan kritik media sebagai hasil operasi antek asing merupakan pembodohan publik. Seluruh bentuk penyampaian protes di Indonesia dilindungi sebagai hak kebebasan berkumpul dan berserikat yang dilindungi dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.

KONDISI menegaskan, “Ada pihak-pihak yang tidak ingin masyarakat Indonesia mendapatkan informasi yang akurat, relevan, dan faktual dari kondisi yang sekarang ini terjadi dan sibuk mendistorsi informasi untuk membenturkan masyarakat dengan media independen, aktivis, dan pembela hak asasi manusia. Maka dari itu, kita jangan sampai terpengaruh dan harus terus mendukung kerja-kerja media dan masyarakat sipil dalam menyuarakan kondisi sebenarnya yang dialami Indonesia.”

Melihat perkembangan tersebut, KONDISI mendesak:
1. Pemerintah dan DPR RI: Elit-elit politik dan pejabat negara segera berhenti menggunakan retorika antek asing pada setiap momen protes publik. Pejabat pemerintah dan anggota DPR seharusnya lebih mendengarkan untuk membuka komunikasi politik, berupaya memenuhi tuntutan publik untuk menghapus kebijakan tidak pro-rakyat memperbaiki tatakelola pemerintahan, dan menyegerakan reformasi POLRI.
2. Publik: Masyarakat perlu bersikap kritis dan bijak dalam menanggapi retorika antek asing yang dialamatkan pada media independen dan organisasi masyarakat sipil, baik yang dilontarkan oleh pejabat negara atau akun-akun pemengaruh (influencer) dan buzzer dimedia sosial. Hal ini penting agar xenophobia (perasaan takut atau tidak suka terhadap apa yang dipersepsikan sebagai asing) dan kecurigaan berlebihan pada intervensi asing yang dapat menjauhkan dari isu sebenarnya yang sedang diprotes tidak menyebar luas.
3. Komunitas Media: Media dan jurnalis di Indonesia agar tidak mengamplifikasi disinformasi dan propaganda retorika antek asing yang digunakan untuk mendelegitimasi media independen dan organisasi masyarakat sipil lainnya. Media perlu lebih kritis menerima retorika dan konten propaganda yang disebarkan akun-akun dari domestik atau dari luar untuk melemahkan gerakan publik.

Editor: Husen Toisuta

**) Ikuti berita terbaru Terasmaluku.com di Google News klik link ini dan jangan lupa Follow

No More Posts Available.

No more pages to load.