Benarkah Ambon Kota Toleran? Oleh : Rudy Rahabeat, Pendeta GPM

oleh
oleh
Pendeta Rudy Rahabeat,

ADA rasa bangga dan syukur karena di antara puluhan kota/kabupaten di Indonesia, Kota Ambon masuk kategori kota toleran, khususnya dalam ikhwal relasi antar-umat beragama. Hal ini menarik, karena sebagai kota yang pernah dihantam badai konflik bernuansa agama, memang tidak mudah bangkit dan pulih secepatnya. Tapi pengakuan ini, menegaskan bahwa masyarakat Kota Ambon makin dewasa, dan mengambil banyak hikmah dari konflik 1999 itu, dan tentu saja terus belajar dari sejarahnya yang panjang ke masa silam serta visinya yang jauh ke masa depan.

Berdasarkan hasil penilaian Setara Institut pada Indeks Kota Toleran (IKT), bahwa 10 kota dengan skor tertinggi adalah sebagai berikut, peringkat 1 Kota Singkawang dengan skor 6,513, peringkat 2 Salatiga (6,477), peringkat 3 Pematang Siantar (6,280), peringkat 4 Manado (6,030), peringkat 5 Ambon (5,960). Sementara peringkat 5 Kota Bekasi 6 (5, 890), peringkat 7 Kupang (5,857), peringkat 8 Tomohon (5,833), peringkat 9 Binjai (5,830) dan peringkat 10 Surabaya (5, 823).

Penilaian ini tetap terbuka untuk didebat dan diuji, baik aspek metodologi maupun indicator-indikator yang digunakan. Baik data kuantitatif maupun data kualitatifnya. Walau demikian, dengan berpikir optimis dan kritis, kita tetap mengapresiasi tiap capaian dan meningkatkan performa dan subtansi toleransi dalam konteks masyarakat yang plural dan multikulural.

HIKMAH AMAHUSU

Beberapa hari sebelum hasil riset Setara Institut ini dirilis, tepatnya Minggu 2 Desember 2018 terjadi “polemik” seputar Ibadah Orang Basudara yang berlangsung di jemaaat Amahusu Kota Ambon. Ibadah yang beralaskan nilai-nilai budaya setempat khususnya Pela-Gandong itu, menumbulkan kontroversi, baik pada tataran substansi maupun teknis pelaksanaannya. Pada tataran substansi ada yang melihat adanya proses sinkretisme atau pencampuran agama, sedangkan pada tataran praktis, kurang optimalnya koordinasi dan komunikasi.

Terlepas dari kontraversi tersebut, tetapi hal ini sekaligus menjadi batu uji untuk kehidupan bersama antar-agama di Maluku khususnya di kota Ambon. Apakah masyarakat benar-benar telah menghayati dan menghidupi toleransi itu dalam arti sebenarnya? Atau justru yang nampak adalah toleransi semu. Apakah hidup bersama dalam keragaman itu hanya ibarat minyak dan air di dalam gelas, atau kopi dan gula di dalam cangkir. Semua ini menjadi pergumulan bersama yang mesti direspons secara arif dan bijaksana.

Jika kita hendak melihat Ambon terus damai dan sejahtera, maka tidak ada jalan lain, kita harus mengelola keragaman yang ada. Sudah sering disebutkan bahwa sejak jaman dulu Ambon sudah merupakan kota yang plural (migrant city). Di kota ini bukan saja keragaman agama dan budaya, tetapi juga keragaman etnis, kelas sosial dan orientasi politik dan sebagainya. Semua ini jika dikelola dengan baik maka tentu membawa maslahat bagi semua pihak. Sebaliknya, jika salah kelola maka bisa menimbulkan benturan bahkan konflik.

RENEGOSIASI BATASBATAS

Jika kembali ke “jiwa budaya” orang Ambon, maka salah satu perekat hubungan antar-agama di Ambon adalah konsep “Orang Basudara”. Konsep ini menegaskan adanya hubungan persaudaraan antar-orang-orang Ambon jauh sebelum datangnya agama-agama “resmi”. Orang Ambon meyakini bahwa mereka berasal dari leluhur yang satu, yang dianalogikan sebagai Gandong, atau kandungan. Dalam perkembanganya konsep Orang Basudara ini juga mengalami perluasan makna, yang bukan hanya dipahami dalam konteks hubungan genealogis semata.

Pada sisi lain, kehadiran agama-agama “resmi” di Ambon telah membentuk batas-batas baru, antara “kami” dan “mereka”. Melalui berbagai dogma dan akidah yang dipegang, sadar atau tidak sadar muncul batas-batas baru yang membuat relasi antar-orang Basudara menjadi problematik. Tentu ini sebuah pendekatan dikotomik. Bahwa apakah mesti lebih setia kepada agama atau kepada adat leluhur. Ada orang yang bisa melampaui dikotomi ini, tapi tidak sedikit yang merasa perlu menegaskan batas-batas tersebut demi menjaga identitas masing-masing.

Konteks kekinian kita menunjukan bahwa terjadi ketegangan dalam soal batas-batas itu. Globalisasi yang bertendensi meluruhkan batas-batas justru berbalik arah menjadi penebalan sentimen identitas berbasis agama dan suku, misalnya. Hal ini makin menarik dengan adanya gerakan oikumenisme dan trans-nasional yang menghubungkan manusia-manusia lintas batas wilayah dan negara. Kondisinya makin kompleks ketika teknologi komunikasi memediasi lalu lintas informasi yang makin intens, seperti pada media sosial. Semua ini membutuhkan pemetaan baru tentang batas-batas, bukan saja dalam artian fisik tetapi juga non-fisik.

Di atas semuanya, sebuah komunikasi yang terbuka serta rendah hati perlu dilakukan. Sebuah visi bersama tentang tatanan hidup bersama dalam keragaman mesti diiplementasikan dalam laku hidup sehari-hari yang saling peduli dan berbagi, tidak diskriminatif dan saling menafikan. Dengan menyadari bahwa tidak ada seorang pun yang sempurna (no body perfect) maka kita makin terbuka untuk saling belajar dan saling melengkapi. Merasa diri lebih hebat dari yang lain, lebih unggul dari yang lain, tentu padangan dan sikap yang memicu intoleransi. Mari wujudkan Ambon sebagai kota toleran, juga Maluku, juga Indonesia, juga dunia ini. (RR)

No More Posts Available.

No more pages to load.