TANGGAL 6 September 2019 Gereja Protestan Maluku (GPM) memasuki ulang tahun ke-84. Sebuah ziarah iman dan jejak sejarah yang kian tua. Menyongsong momen bersejarah itu, saya sertakan empat catatan reflektif sebagai berikut:
Pertama, partisipasi gereja di ruang publik. Sudah sejak lama GPM terlibat dalam wacana dan praksis publik. GPM tidak hanya sibuk dengan dirinya sendiri atau dengan ritualisme agamawi, tetapi menyadari bahwa gereja di utus ke dalam dunia untuk menggarami dunia dengan aneka problemnya. Persoalan-persoalan bersama terkait keadilan, Hak Asasi Manusia (HAM), keutuhan bangsa, problem ekologi, gender, budaya lokal dan isu-isu publik lainnya merukapan konsern sekaligus agenda kerja GPM sebagaimana nampak pada program-programnya di aras Sinode, Klasis maupun Jemaat.
Sejauhmana peran partisipatif itu berdampak bagi ruang publik yang sehat dan berkualitas, kiranya itu menjadi bahan perenungan di hari ulang tahun ke-84 itu. Satu hal yang pasti, GPM jangan sampai undur untuk terus terlibat dalam isu-isu publik, lalu menarik diri (setback) menjadi tertutup dan ekslusif.
Kedua, menjadi gereja yang ramah budaya. Sejak dicanangkan frasa “Gereja Orang Basudara” maka salah satu makna tersirat dan tersurat dari frasa ini adalah GPM menjadi gereja yang ramah budaya, khususnya budaya lokal. Ini merupakan cara menggereja yang kontekstual di tengah gempuran modernisme dan globalisme dalam berbagai sisi. Gereja tidak mau kehilangan identitasnya yang otentik. ia berakar di tanah budaya Maluku yang merupakan lokus hidup menggereja di Maluku dan Maluku Utara.
GPM tidak melihat budaya lokal sebagai kafir atau yang harus dihapuskan. Justru sebaliknya, GPM menggali dan mengembangkan berbagai kearifan lokal dan memaknai panggilan tugasnya di bumi Maluku. Tentu saja langkah ini tidak sepi dari tantangan dan kecaman. Sebab ada pula yang anti-budaya, memandang budaya sebagai tidak agamis, dan berpikir seolah-olah agama itu sesuatu yang anti-budaya. Pada momen 84 tahun GPM perlu dievaluasi dan diproyeksi pemihakan gereja terhadap eksistensi dan kelestarian budaya lokal sebagai energi peradaban masyarakat Maluku.
Ketiga, gereja dan basis keluarga. Jelang ulang tahun ke-84 dicanangkan Pekan Pembinaan Keluarga sebagai wujud konkrit kesadaran dan komitmen gereja menjadikan keluarga sebagai basis pembinaan. Di era digital dengan dominasi budaya massa-populer berbasis internet, ruang-ruang keluarga mengalami pergeseran yang serius. Meja makan bergeser ke ruang nonto televisi, percakapan dalam keluarga tiba-tiba menjadi bisu karena masing-masing sibuk dengan gadgetnya serta berbagai pergeseran lainnya.
Terhadap fenomena ini gereja terpanggil untuk memperkuat keluarga dan menegaskan bahwa keluarga merupakan terminal keberangkatan yang penting dalam perjalanan ziarah bersama melintasi ruang dan waktu yang dinamis. Keluarga-keluarga perlu terus mengevaluasi diri dan menegaskan komitmen untuk tidak terbuai dalam kecenderungan individualisme dan hedonenisme yang kian menguat. Perlu ada terobosan dan inovasi dalam menjadikan keluarga sebagai basis pembinaan.
Keempat, gereja yang terus membarui diri. Dari sejarah kita belajar bahwa gereja dapat terjebak dalam kemapanan dan superioritas. Gereja di era pertengahan menjadi salah satu kekuatan keagamaan dan politik yang dominan. Hal ini makin riskan ketika gereja tidak menjalankan fungsi kritis-profetik kepada kekuasaan, utamanya kekuasaan negara. Gereja bisa terjebak dan tersubordinat dalam hegemoni negara. Hal ini bukan gereja mesti anti-negara. Bukan begitu. Maksud saya, gereja tetap menjadi gereja, menjalankan fungsi kritis dan tetap bersinergi dengan siapa saja, termasuk dengan negara.
Dengan begitu, gereja tetap independen, otentik dan rendah hati untuk berjumpa dengan siapa saja untuk bersama-sama mengusahakan kesejahteraan bersama. Demikian pula, gereja terus membuka diri untuk dibarui oleh Roh Kudus secara terus menerus. Gereja terus mengembangkan spiritualitas yang rendah hati dan penuh belarasa dengan sesama bahkan semesta ciptaan. Semboyan “ecclesia reformata semper reformada”, gereja yang dibarui terus menerus, mesti menjadi spirit bergereja di sepanjang sejarahnya.
Demikian empat catatan kecil yang dapat saya goreskan dalam menyongsong 84 tahun Gereja Protestan Maluku (GPM). Semoga GPM tetap eksis dan terus berkarya untuk kemuliaan nama Tuhan dan kemaslahtan bersama.