Catatan Reflektif di Hari Pendidikan Nasional

oleh
Brando.Z. Maatoke, alumni Magister Agama dan Masyarakat UKSW Salatiga. FOTO : DOK. PRIBADI

Hari ini, 2 Mei 2025 masyarakat Indonesia memperingati hari Pendidikan Nasional. Berbagai ucapan dan harapan membanjiri dinding media sosial. Beberapa harapan tersebut, diantaranya: pendidikan di Indonesia diharapkan semakin adil, kesetaraan akses pendidikan, pengembangan karakter, peningkatan kualitas, adanya kebebasan berpikir, dll. Di tengah harapan tersebut, wajah pendidikan masih menyimpan sejumblah problematika, salah satunya sistem yang otoriter. Tentunya hari Pendidikan Nasional menjadi momen penting dalam merefleksikan hal tersebut.

Tendensi otoriter pada perguruan tinggi dapat dilihat dari beberapa aspek. Pertama, pembatasan kebebasan demokrasi di lingkungan kampus, seperti penindakan bagi mahasiswa yang memprotes kenaikan uang kuliah (diskors bahkan di drop out). Selain itu, kewajiban bagi mahasiswa baru untuk menandatangani surat peryataan tidak terlibat dalam kegiatan unjuk rasa di kampus. Belum lagi dikelurkannya surat edaran dari rektor untuk mengatur unjuk rasa. Kampus kini menjadi lembaga yang bertugas untuk mendisiplinkan dan menghukum mahasiswa, bukan sebagai tempat yang memberikan kebebasan berpendapat yang menjadi landasan fundamental demokrasi Indonesia. Hal ini seperti yang dipertegas oleh Foucault (1997), bahwa pendidikan menjadi salah satu instrumen kekuasaan untuk mengawasi, mengontrol, menormalisasi individu.

Perilaku individu akan dibentuk sesuai dengan standar dan norma yang telah dibentuk oleh otoritas. Pendidikan menjadi tempat dimana kekuasaan dijalankan. Kedua, sistem belajar yang berpusat pada pendidik (dosen) sebagai pemegang otoritas tunggal. Hal ini menyebabkan peserta didik (mahasiswa) tidak memiliki kebebasan dalam berpartisipasi aktif. Dosen memiliki kekuasaan absolut dalam proses pembelajaran. Hal ini menyebabkan pendidikan bersifat “banking” tetap terpelihara dalam pendidikan di perguruan tinggi. Peserta didik tidak diberikan kebebasan berpikir dalam melihat prespektif lain di luar perspektif pendidik. Sistem belajar menjadi sangat kaku dan tidak fleksibel atau luwes.

Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan menuju sistem yang egaliter dan humanis. Sistem ini akan memberikan partisipasi aktif bagi peserta didik. Pendidik maupun peserta didik menjadi subjek dalam proses pembelajaran. Terjadinya kesetaraan, pembelajaran yang inlusif, pengembangan potensi, dll. Selanjutnya, dalam sistem tersebut akan memberikan jaminan bagi kebebasan berpendapat. Hal ini akan mendorong terwujudnya kebebasan berpikir. Bagi Lattu dan Sopacoly (2021), kebebasan berpikir menjadi kekuatan dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi. Kebebasan berpikir akan mendorong terciptanya minoritas yang berdaya cipta (creative minority) yang dapat melaksanakan transformasi sosial di masyarakat.

Sistem yang egaliter dan humanis maka akan memberikan andil dalam mewujudkan gerakan “Kampus Berdampak”. Hal ini seperti yang dikemukakan Dewey (2007), bahwa sistem pendidikan yang memberikan partisipasi aktif bagi peserta didik akan mendorong individu untuk berkontribusi bagi kehidupan sosial di masyarakat. Individu akan terdorong untuk melaksakan berbagai transformasi sosial. Untuk menjadi konsumsi bersama, beberapa hari yang lalu sebelum mengakhiri bulan April, bertempat di Gedung D Kemendiktisaintek, Senayan, Jakarta Pusat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi meluncurkan inisiatif transformatif bertajuk “Kampus Berdampak”. Gerakan tersebut bertujuan dalam mendorong perguruan tinggi di Indonesia untuk mampu mentransformasi kehidupan masyarakat, serta mendukung pencapaian Indonesia Emas.

Selamat Hari Pendidikan Nasional. Mari kita ciptakan sistem pendidikan yang egaliter dan humanis untuk mengubah dunia.

Penulis : Brando.Z. Maatoke, alumni Magister Agama dan Masyarakat UKSW Salatiga

 

No More Posts Available.

No more pages to load.