Ketika Kepala Sekolah Menampar Siswa: Antara Penegakan Disiplin dan Jerat Pidana

oleh
Penulis: Rilis  |  Editor: Redaksi
Esti Aryani, S.H, M.H, Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi

KASUS terbaru tentang seorang kepala sekolah yang menampar siswanya hingga orang tua korban melapor ke polisi kembali memancing perdebatan publik. Sebagian pihak menganggap tindakan kepala sekolah itu sebagai bentuk “pendidikan disiplin”, sementara pihak lain menilai hal itu sebagai tindak pidana kekerasan terhadap anak yang tak bisa dibenarkan dalam konteks apa pun.

Kasus semacam ini mengingatkan kita bahwa dunia pendidikan kini hidup dalam dua ruang hukum sekaligus antara niat mendidik dan batasan hukum pidana.

Dalam konteks hukum, niat baik tidak menghapus perbuatan melawan hukum. Pasal 80 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menegaskan: “Setiap orang yang melakukan kekerasan terhadap anak dapat dipidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta.” Tindakan “menampar” meskipun dengan alasan mendisiplinkan, tetap dikategorikan sebagai kekerasan fisik, karena menyebabkan rasa sakit atau penderitaan pada anak. Hukum tidak menilai apakah pelaku berniat mendidik, tetapi menilai akibat dan unsur perbuatannya. Dengan demikian, kepala sekolah yang melakukan kekerasan fisik terhadap siswa tetap bisa dipidana, meskipun ia memiliki jabatan, niat baik, atau alasan “demi kebaikan anak”.

Kepala sekolah adalah penyelenggara pendidikan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam menjalankan fungsinya, guru dan kepala sekolah memang berhak menegakkan disiplin, tetapi tetap terikat pada prinsip kemanusiaan dan perlindungan anak. Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Satuan Pendidikan secara tegas melarang pendidik melakukan tindakan kekerasan dalam bentuk apa pun, baik fisik maupun verbal.

Bahkan, aturan tersebut menyebut bahwa penegakan disiplin harus dilakukan melalui: pendekatan pembinaan dan dialog, bukan hukuman fisik, apalagi tamparan. Maka, dalam kaca mata hukum administrasi dan etik profesi, tindakan kepala sekolah tersebut juga bisa dianggap pelanggaran disiplin pegawai negeri/ASN jika ia berstatus PNS, sesuai PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Dalam paradigma hukum modern, hak anak ditempatkan sebagai hak konstitusional, dijamin oleh Pasal 28B ayat (2) UUD 1945: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

Artinya, negara melalui sekolah justru wajib memastikan anak tidak mengalami kekerasan, bahkan di lingkungan pendidikan sekalipun. Mendidik bukan berarti bebas menghukum.
Kewenangan kepala sekolah tidak bisa dijadikan pembenaran atas tindakan fisik, karena fungsi pendidikan adalah pembinaan, bukan pembalasan.

Peristiwa ini memperlihatkan kesenjangan antara etika profesi pendidik dan norma hukum pidana. Dalam etika pendidikan klasik, guru atau kepala sekolah dipandang sebagai figur otoritas moral yang “boleh menegur keras” untuk mendisiplinkan murid. Namun dalam sistem hukum modern, otoritas moral tidak boleh melanggar integritas fisik dan psikologis anak.

Inilah tantangan dunia pendidikan hari ini: bagaimana guru dan kepala sekolah menegakkan disiplin tanpa melanggar hukum. Batasnya tipis, tapi jelas disiplin boleh, kekerasan tidak.

Orang tua yang melapor kepala sekolah bukan berarti anti terhadap pendidikan keras, tetapi menuntut perlakuan manusiawi dan hukum yang adil. Laporan ke polisi adalah bagian dari hak hukum warga negara untuk menegakkan perlindungan anak, sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2002 jo. UU No. 35 Tahun 2014. Negara, melalui aparat penegak hukum, wajib memproses kasus ini secara proporsional bukan karena tekanan publik, tetapi untuk menegaskan bahwa lembaga pendidikan tidak kebal hukum. Pemerintah daerah dan dinas pendidikan juga harus turun tangan memberikan pendampingan psikologis kepada korban dan pembinaan etika hukum bagi guru dan kepala sekolah.

Kasus kepala sekolah yang menampar siswa bukan hanya persoalan pribadi, tetapi cermin krisis disiplin hukum dalam dunia pendidikan. Ketika seorang pendidik lupa bahwa hukum juga bagian dari nilai moral, maka pendidikan kehilangan jiwanya. Mendidik anak tanpa melukai adalah seni sekaligus kewajiban hukum. Karena tangan guru seharusnya menuntun, bukan menampar. Sekolah seharusnya menjadi tempat anak merasa aman, bukan takut.

Oleh: Esti Aryani, S.H, M.H, Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi

**) Ikuti berita terbaru Terasmaluku.com di Google News klik link ini dan jangan lupa Follow

 

No More Posts Available.

No more pages to load.