Mulianya Permintaan Maaf Oleh : Rudy Rahabeat, Pendeta GPM

oleh
oleh
Rudy Rahabeat, Pendeta GPM. FOTO : DOK. TERASMALUKU.COM

BAGAI air yang sejuk di gurun kehidupan, permintaan maaf yang disampaikan Panitia Ibadah Orang Basudara di Amahusu Ambon, Minggu (2/12/2018) bikin hati lega. Betapa tidak, beberapa hari terakhir ini suasana kebatinan Orang Basudara di Ambon relatif tidak tenang berkaitan respons terhadap ibadah yang dianggap melangkahi hal-hal yang prinsipil dalam tiap-tiap agama, baik Islam maupun Kristen. Ada “ruang kudus/suci” yang tak bisa dilangkahi atas nama apapun, sebab itu merupakan fondasi utama masing-masing agama. Menyampaikan adzan di dalam gereja atau membaca Kitab Suci di rumah ibadah agama lain, merupakan hal yang berkaitan langsung dengan aqidah atau ajaran (dogma). Tiap-tiap agama memiliki pemahaman masing-masing tentang hal tersebut, dan itu perlu dihormati.

Permintaan maaf merupakan tanda kemanusiaan sekaligus tanda keberagamaan. Manusia tidak ada yang sempurna, dan olehnya rentan berbuat khilaf dan salah. Manusia sehebat-hebatnya ia tentu punya titik keterbatasannya. Hanya Sang Khalik yang Maha Sempurna. Demikian pun, meminta maaf adalah sesuatu yang agamawi atau teologis. Allah adalah Allah yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Oleh, baik dalam agama Islam maupun Kristen, ketika manusia bersalah dan bertobat maka ia memperoleh Kemurahan Allah itu.

Dengan begitu, permohonan maaf bukanlah sebuah tanda kelemahan. Permohonan maaf justru adalah tanda kedewasaan dan kesadaran eksistensial manusia. Bahwa ia benar-benar membutuhkan belas kasihan Allah, sebab dirinya rapuh dan ringkih. Permintaan maaf merupakan sebuah kritik diri (otokritik) terhadap kata, sikap dan perbuatan yang tak selamanya sesuai dengan kehendak Allah.

NEGARA HADIR

Gubernur Maluku, Ir Said Assagaff mempertemukan para tokoh agama di kediamannya. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maluku, Gereja Protestan Maluku (GPM), Gereja Katolik, Walubi, PHDI, dan berbagai tokoh agama dirangkul oleh sang gubernur sebagai representasi negara. Hadir pula Panitia dan pimpinan Negeri Amahusu, Laha, Tial dan Hatalai.

“Mari bakumpul sebagai orang Basudara. Bila ada salah, meminta maaf itu baik, dan saling memaafkan adalah tanda tabiat kita dari adat Maluku,”ungkapan Gubernur sebagaimana dicatat Sekum Sinode GPM, Pdt Elifas Maspaitella, dan disiarkan di laman fesbuknya (12 Desember 2018) ini mengandung makna yang dalam. Pertama-tama ajakan untuk berkumpul dan berjumpa atau bakudapa. Sebuah undangan budaya yang merangkul dan menandai awal sebuah keputusan bersama. Perjumpaan itu dilandasi atas nilai persaudaraan (orang basudara) yang diwariskan para leluhur dan termeterai dalam adat. Pada saat perjumpaan itu, jika ada yang salah, minta maaf. Dan tentu, memberi maaf (kase maaf).

Langkah Gubernur ini menegaskan bahwa negara hadir di tengah-tengah rakyat. Ketika masyarakat diperhadapkan dengan masalah dan polemik, negara tidak boleh diam atau memilih jalan sepihak. Negara mesti hadir dan merangkul, memberi solusi yang sejuk dan bijak. Negara menjadi fasilitator dan mediator yang mengupayakan perdamaian dan kesejahteraan. Negara mempertemukan para pihak untuk saling bicara dan saling berbagi serta mencari solusi bersama. Dengan begitu masalah tidak berlarut-larut, dan atau menjadi besar. Tetapi dapat diselesaikan dengan penuh saling pengertian dan persaudaraan.

JALAN PERSAUDARAAN

Perjumpaan orang basudara dan permohonan maaf merupakan langkah awal yang bijaksana. Masing-masing pihak bersedia untuk saling mendengar dan memberi masukan. Ini sebuah langkah awal yang patut diapresiasi tinggi. Sebab tidak semua orang bisa dengan cepat tiba di fase ini. Kita punya pengalaman panjang soal konflik di masa lalu, dan betapa tidak mudah membangun saling pengertian dan tekad untuk memulai lembaran baru yang penuh damai. Perdamaian yang telah kita raih selama ini, rasa persaudaraan yang menjadi tiang penyanggah peradaban, mesti terus kita jaga dan pelihara dengan sepenuh jiwa raga.

Tadi pagi saya menemui Dr Tony Rudyansjah sembari menyisipkan pertanyaan kecil tentang bagaimana menyikapi dinamika seperti di atas? Ketua Departemen Antropologi Universitas Indonesia ini mengapresiasi momen permintaan maaf itu, dan perlunya selalu membangun komunikasi dan saling pengertian. Tentu sebagai akademisi, ia menekankan pentingnya objektivitas dan perlunya memahami “suasana kebatinan” masyarakat. Jangan hanya memberi teori atau solusi tanpa memperhitungkan aspek-aspek yang holistik. Ia menyarankan para akademisi untuk melakukan riset yang utuh dalam melihat fenomena keagamaan dan kemasyarakatan tersebut. Dengan begitu, selalu berbasis data dan riset, bukan opini atau dugaan semata.

Saya menuliskan catatan ini ketika suara adzan menggema memanggil umat datang sembahyang. Jumat yang tenang dan syahdu. Saya dapat merasakan kerinduan yang kuat kepada yang Ilahi, dan pada saat yang sama, kesadaran yang dalam tentang ketidaksempurnaan insani. Berita permintaan maaf kemarin di kediaman Gubernur Maluku, membuat saya berdoa syukur, sembari berharap tali silaturahim Orang Basudara tetap kuat dan menguatkan demi masa depan bersama yang sejahtera. Saya mencoba merenungkan makna minal aidin walfaidzin, mohon maaf lahir bathin. Suasana masih hening. Sebuah Jumat yang indah di pinggir kota Depok (RR).

No More Posts Available.

No more pages to load.