Nostalgia Reformasi 98 Oleh : Nardi Maruapey Mahasiswa Unidar Ambon

oleh
oleh
Nardi Maruapey

DALAM sejarah pergerakan mahasiswa Indonesia apabila diurutkan dari hulu hingga hilir maka yang akan kita temukan yakni, 1) Boedi Oetomo tahun 1908, 2) Sumpah Pemuda tahun 1928, 3) Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945, 4) Lahirnya orde baru tahun 1966, 5) Peristiwa Malapateka 15 Januari (MALARI) tahun 1974, 6) Gerakan Mahasiswa atau Gema tahun 1977-1978, 7) Gerakan Mahasiswa tahun 1980-an, 7) Gerakan Reformasi tahun 1998. Semua gerakan ini tercatat sebagai momentum yang monumental berkaitan dengan proses perjuangan generasi bangsa menghadapai tantangan zaman.

Latar belakang yang sampai saat ini diketahui secara umum bahwa semangat paling mendasar timbulnya gerakan untuk menumbangkan rezim Soeharto atau gerakan reformasi ’98 adalah: Pertama, terjadi krisis ekonomi, politik dan hukum. Dalam bidang ekonomi diantaranya krisis keuangan, inflasi dan juga utang luar negeri. M. Danial Nafis (2009) mengatakan bahwa pada saat krisis 1997-2000 diketahui rasio utang pemerintah meningkat 80%-90%.

Dalam bidang politik yaitu terciptanya pemimpin otoriter, praktek KKN terus melaju pada kalangan pemerintah maupun birokrasi. Hal ini seirama menurut Syafinuddin Al Mandari (2007) bahwa karakter anti publik, kolusi, korup, nepotis, elitis sebagai akibat dari operasi kekuasaan yang terpusat adalah peristiwa politik juga.

Dibidang hukum tidak tertata secara jelas, hukum seperti mengalami tumpul keatas dan tajam kebawah. Jadi semacam ada perselingkuhan dibidang hukum, ekonomi dan politik. Hal ini yang menyebabkan hilangnya kepercayaan (krisis kepercayaan) masyarakat terhadap pemerintah orde baru yang dipimpin Soeharto. Bagi Fukuyama hal ini amat berbahaya karena menghilangkan social capital yang merupakan urat nadi perbaikan bangsa.

Kedua, timbulnya sikap sadar dan jenuh dari kelompok mahasiswa atas jalannya roda pemerintah dibawah pimpinan Soeharto yang jelas sangat otoriter berdasarkan fakta empiris.

Menumbangkan Rezim Otoriter

Sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia tercatat sudah dua kali terjadi dengan tujuan dari gerakan itu adalah untuk menumbangkan rezim. Gerakan menumbangkan rezim yang terjadi pada tahun 1966 dan tahun 1998. Namun ada sedikit perbedaan dari kedua gerakan ini. Pertama, Gerakan tahun 1966 (Angkatan 66) mengangkat isu Tritura, berkait pertentangan ideologis antara komunis dan anti komunis, dan Presiden Soekarno jatuh lewat Super Semar. Soeharto yang menjadi presiden Republik Indonesia melalui suatu peristiwa bersejarah yang kita kenal dengan peristiwa Super Semar (Surat Perintah Sebelas Maret) yang diberikan oleh Soekarno yang menurut pandangan sebagian orang adalah bagain dari proses kudeta.

Kedua, gerakan mahasiswa yang benar-benar menjatuhkan presiden adalah tahun 1998. Presedin Soeharto benar-benar turun tahta, menyatakan berhenti dari jabatan presiden, dikarenakan tekanan gerakan mahasiswa yang kemudian melahirkan reformasi (Dody Rudianto, 2010: 5). Inilah keberhasilan dari sebuah gerakan dengan tujuan menjatuhkan sebuah rezim kepemimpinan yang tentunya sangat otoriter.

BACA JUGA :  TERUPDATE! Lima Hari Dirawat, Begini Kondisi Walikota Ambon dan Keluarga

Pilihan Reformasi

Paling fundamental dari gerakan yang terlahir dan dinamakan gerakan reformasi ini merupakan bentuk dari sifat kritis kelompok mahasiswa yang memang kelompok ini ditakdirkan untuk kritis dengan ouputnya menghasilkan agenda perubahan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Reformasi pada bulan Mei 1998 lalu ingin menjawab masalah krisis politik, krisis ekonomi, krisis hukum dan krisis sosial berdasarkan konstitusional. Reformasi berdasarkan konstitusional maka dalam gerakannya ada tiga bagian penting. Merujuk pada pendapat Fadmin P. Malau (2018), maka ada tiga capaian yang menjadi tujuan gerakan.

Pertama, reformasi berdasarkan prosedural untuk perubahan dalam kehidupan rakyat Indonesia yang normatif berubah dari bentuk otoriter menuju bentuk demokratis. Kedua, reformasi struktural dimana adanya tuntutan perubahan institusional negara yang responsif, berkeadilan, transparantif dan demokratis.

Hal ini melahirkan sejumlah lembaga non-struktural atau komisi sebagai wujud dari reformasi struktural. Lahirnya komisi sebagai lembaga ekstra struktural memiliki fungsi pengawasan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Maka kita melihat terbentuknya lembaga-lembaga Negara seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Yudisial (KY), Komisi Hukum Nasional (KHN), Ombudsman RI (ORI), Komisi Nasional HAM (Komnas HAM), dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Komisi-komisi itu memiliki kewenangan menegakkan keadilan dan membantu masyarakat untuk memonitoring, membina, mengawasi dan menyelidiki proses kerja lembaga negara seperti Presiden, MA, MK, DPR, DPD dan jajaran birokrat. Tujuannya ingin mewujudkan pemerintahan yang bersih dan baik atau clean and good governance.

Ketiga, reformasi kultural yang menginginkan adanya perubahan pola pikir, cara pandang dan budaya luhur bangsa. Reformasi Kultural ini menjadi kunci keberhasilan dari reformasi secara total untuk segala perubahan menuju bangsa yang lebih baik. Reformasi kultural merupakan kata kunci untuk mewujudkan reformasi prosedural dan reformasi struktural.

Sebuah Kekurangan

Pada pilihan istilah reformasi atau revolusi oleh seluruh tokoh pergerakan saat itu juga menjadi salah satu kekurangan dari gerakan yang terjadi 21 tahun silam. Sebab revolusi yang paling ideal digunakan kalau tujuannya mendorong perubahan secara tuntas, total sampai di akar-akar kehidupan bernegara (sosial, politik, ekonomi, hukum, budaya, dan lain-lain). Disatu sisi, ada semacam ketakutan pada pilihan untuk menggunakan istilah revolusi.
Kalau muncul pertanyaan “Apakah gerakan reformasi tahun 1998 yang pernah terjadi ini adalah hanya sebuah gerakan bersifat prosedural ataukah subtantif?”. Maka hemat saya, gerakan ini (baca: reformasi) hanya bersifat prosedural dengan hanya menggantikan rezim saja. Faktanya pasca reformasi, sekarang kita masih melihat praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotis) dikalangan elit pemerintah maupun birokrasi yang masih bertambah subur, sistem hukum yang masih tumpul, konstitusi negara (Undang-Undang) yang seakan-akan selalu melindungi para penguasa, dan kondisi ekonomi kita yang semakin hari semakin parah.

Hal ini menyebabkan akan terjadi penarikan kesimpulan bahwa gerakan reformasi yang terjadi ada sebuah kekurangan didalamnya yakni tidak ada satu bentuk agenda perubahan yang dibuat karena gerakan reformasi itu lagi-lagi hanya terlalu fokus untuk menumbangkan rezim Soeharto. Reformasi seperti kehilangan arah. Sehingga cita-cita reformasi yang diinginkan dari awal belum terlihat sesuai dengan kondisi bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kita saat ini.

BACA JUGA :  Pemkot Kembangkan Balai Kesehatan Mata Ambon-Vlissingen, Ini Maanfatnnya

Syafinuddin Al Mandari (2007) dalam bukunya HMI dan Wacana Revolusi Sosial menawarkan kepada kita bahwa sebagai sebuah bangsa, Indonesia seharusnya bisa lebih belajar banyak dari revolusi yang pernah terjadi di China dan Iran. Pemerintah yang disanggah tokoh-tokoh kharismatik China di bawah Jiang Zemin (Presiden), Zhu Rongji (Perdana Menteri), dan Li Peng (Ketua Legislatif) secara sungguh memperjuangkan cita-cita rakyat China untuk hidup makmur dan berdaulat.

Tatkala dilantik menjadi Perdana Menteri tahun 1998, Zhu Rongji berjanji untuk memecat empat juta pegawai negeri yang korup, menghapuskan tunjangan yang menyebabkan efesiensi keuangan negara dan meningkatkan perekonomian China. Hanya dalam waktu lima tahun saja, sejalan dengan kebijakan Ziang Zemin pada tahun 1995 untuk memerangi korupsi tanpa ampu, jutaan koruptor diberi sanksi berat. Karena itu pula kejahatan lainnya yang dapat saja jalin berkelindan dengan korupsi, serta merta diperangi. Sejak dicanangkannya perang terhadap kejahatan yang dikenal dengan sebutan Srike Hard” tahun 1996, China telah mengeksekusi pelaku kejahatan sebanyak 1.781 orang dengan melalui pengadilan dan pembuktian kepada public secara transparan. Sedang data lain yang dikeluarkan para diplomat China pada tahun 2001, jumlah yang telah dieksekusi sudah mencapai 4.367 orang.

Fenomena revolusi Iran juga amat menarik untuk dicermati. Sepanjang sejarah modern, hanya revolusi inilah yang menghasilkan suatu sistem pemerintahan baru dan berbeda sama sekali dengan konsepsi sistem politik modern sebagaimana lazimnya. Revolusi inilah yang menghantarkan para pemimpinnya memperkenalkan suatu perpaduan utuh antara lembaga-lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislative dengan kewenangan ahli fiqhi Islam, dalam suatu konsepsi vilayat-i-vaqih (pemerintahan kaum faqih). Berlandaskan suatu kekuatan teologi yang mengakar dalam kultur masyarakat Iran, lewat suatu tata organisasi social yang rapid an solid, Republik Islam Iran berhasil memutus mata rantai kekuasaan dinasti Pahlevi. Seluruh produk pemerintahan Pahlevi diganti, tidak saja konstitusinya, melainkan aktor dan struktur pemerintahannya termasuk angkatan bersenjatanya (Syafinuddin Al Mandari, 2003: 148-149).

Namun, dari semua gerakan mahasiswa yang pernah terjadi berdasarkan catatan sejarah bisa menjadi pembelajaran berharga bahwa setidaknya sebagai mahasiswa harus memiliki jati diri. Pertama, berlandaskan pada spirit of statesmanship, artinya memiliki kesadaran sebagai warga Negara Indonesia dan selalu berpihak terhadap kepentingan Negara. Kedua, memiliki orientasi intelektualitas. Berbekal kemampuan akademis yang memadai, sehingga mampu melahirkan pemikiran konstruktif bagi kemajuan bangsa dan Negara. Ketiga, bertindak sebagai agen perubahan (agen of change).

No More Posts Available.

No more pages to load.