Tahun 1986-1987, Pascalis Maria Laksono, yang sekarang menjadi Guru Besar Antropologi di Universitas Gajah Mada Yogyakarta melakukan riset disertasi dengan judul metaforik: Wuut ainmehe nifun, manut ainmehe tilor (Eggs from one fish and one bird): A study of the maintenance of social boundaries in the Kei Islands. Pijar-pijar disertasi ini mengingatkan kita tentang warisan leluhur Kei dalam memaknai hidup bersama dalam realitas perbedaan gender, kepentingan dan perspektif sambil tetap menubuh pada kearifan hidup yang menegaskan kebersamaan, persaudaraan dan akar sejarah bersama. Kutipan ini juga hendak mengingatkan kenangan pribadi saya pada tahun 2000 ketika mengikuti mata kuliah Teori-Teori Budaya yang diampu oleh Prof PM Laksono dan Prof Pujo Semedi pada program Magister Religi dan Budaya (sekarang Kajian Budaya) Universitas Katolik Sanata Dharma Yogyakarta.
Berikut empat catatan ringkas ketika saya berkesempatan mengunjungi Ohoi Ohoiel di Kei Besar Kabupaten Maluku Tenggara.
Pertama, situs adat dan budaya kepulauan Kei. Setiap orang yang datang ke kepulauan Kei akrab akan disambut dengan cuaca yang panas, batu karang, dan Bahasa Kei yang terucap di ruang privat maupun publik. Letak kepulauan Kei di Tenggara kepulauan Maluku itu pada masa tertentu cukup terisolasi. Pada masa kolonial kepulauan Kei kurang diperhatikan, mungkin karena cengkeh dan pala tidak subur di sana seperti di Banda dan Ambon Lease.
Di awal kemerdekaan Indonesia, Kei juga terlupakan. Peristiwa perlawanan Republik Maluku Selatan tahun 1950 misalnya, masyarakat Kei tidak terseret masuk dalam gelombang perlawanan politik kala itu. Ada semacam blessing in disguise, berkat terselubung. Pranata adat dan budaya Kei relatif terpelihara hingga kini. Ketika konflik sosial 1999 mendera kepulauan Maluku, masyarakat Kei yang paling cepat pulih dan membangun kohesi sosial berbasis adat Larvul Ngabal dan falsafah Ain Ni Ain. Fakta sejarah ini mesti menjadi modal sejarah dan modal sosial budaya untuk membangun peradaban Kei dari masa ke masa.
Kedua, kekuatan Bahasa Kei. Ada suatu masa ketika Bahasa Kei dan Bahasa-bahasa lokal pada umumnya dianggap kolot dan ketinggalan zaman. Orang merasa malu jika berbahasa lokal. Saya sendiri tidak fasih berbahasa Kei walau ayah saya berasal dari Tutrean Kei Besar. Tapi sebagai pewaris genealogi Kei saya terus belajar kebudayaan Kei dan menghidupinya. Teman-teman saya yang melayani sebagai Pendeta di Kepulauan Kei ada yang sudah sangat fasih berbahasa Kei. Saya salut terhadap kemampuan mereka.
Bagi saya Bahasa adalah salah satu identitas budaya yang harus dijaga dan dilestarikan. Seperti wawancara saya beberapa waktu dengan Mark Taber seorang linguis asal Amerika, ia menegaskan pentingnya merawat Bahasa lokal khususnya di kalangan anak dan pemuda. “Kita perlu bangga dengan Bahasa daerah. Perlu menggunakan media digital untuk menghidupkan Bahasa lokal, selain peran keluarga dan guru di sekolah-sekolah” ungkap penulis buku Atlas Bahasa Tanah di Maluku itu.
Saya sepakat dengan Mark, semua pihak harus terlibat merawat Bahasa. Salah satu langkah penting Gereja Protestan Maluku (GPM) bekerjasama dengan lembaga mitranya sedang melakukan Penerjemahan Alkitab dalam Bahasa Kei. Ini salah satu wujud nyata lembaga keagamaan dalam merawat budaya lokal, khususnya Bahasa daerah. Pemerintah daerah dan pemangku adat serta tokoh agama dapat terus memacu penggunaan dan perawatan Bahasa lokal di dalam keluarga dan masyarakat. Mesti dibangun rasa bangga berbahasa daerah, selain Bahasa Indonesia dan Bahasa asing (internasional)
Ketiga, belajar dari Ohoiel. Dalam tanggungjawab sebagai Majelis Pekerja Harian Sinode GPM saya datang ke Ohoiel dalam rangka peresmian Pastori dan Menara Lonceng Gereja Ebenhaezer Ohoiel (4/7/2023). Pada hari yang sama, Uskup Amboina Mgr Inno Ngutra, Pr hadir juga untuk Pemberkatan Gedung Gereja Kristus Raja Alam Semesta Stasi Ohoiel. Oleh panitia setempat yang diketuai oleh Titus Betaubun, camat Elat Kei Besar, diadakan Seremonial bersama yang selain dihadiri oleh saya dan Bapa Uskup, turut hadiri pula Ketua DPRD Maluku, Benhur George Watubun dan Bupati Maluku Tenggara, Muhammad Taher Hanubun. Ini merupakan peristiwa bersejarah ketika dua agama yakni Protestan dan Katolik berjumpa dalam satu panggung di tanah Evav, di Ohoiel. Watubun sebagai anak kepulauan Kei yang kini dipercayakan sebagai Ketua DPRD Maluku merupakan putra Kei yang pertama menjabat posisi tersebut. Demikian pula Mgr Inno Ngutra merupakan Uskup Amboina yang berasal dari Ohoi Waur Kei Besar.
Turut mengisi acara anak-anak Muslim dari Wandan (Banda Eli) yang merupakan satu keutuhan hidup persaudaraan dalam bingkai kearifan budaya Wuut Ainmehe Ngifun, Manut Ainmehe ni Tilur (berasal dari induk yang satu). Peristiwa ini kiranya memberi energi positif untuk terus memacu pengembangan SDM masyarakat Kei, khususnya generasi muda agar makin eksis di panggung lokal, nasional dan internasional.
Keempat, dinamika politik dan pembangunan. Bupati MTH (Muhammad Taher Hanubun) dalam sambutannya menyebutkan berbagai program pembangunan yang sudah dan sedang berlangsung di Maluku Tenggara, termasuk proyek jalan raya yang menghubungkan ohoi-ohoi di kepulauan Kei. Dalam kaitan itu penting pula mencermati dinamika politik sebagai instrumen kesejahteraan rakyat. Menjelang tahun politik 2024 tentu suhu politik makin memanas. Diperlukan kearifan dan kesejukan dalam menghadapinya. Jika politik dimaknai secara benar, maka pemilu mesti dilihat sebagai pesta demokrasi. Tak perlu ada konflik dan luka politik. Faktanya, sering terjadi gesekan dan konflik pada iven-iven politik. Historia magistra vitae, sejarah adalah guru kehidupan.
Riset yang dilakukan PM Laksono tiga puluhan tahun lalu memberi masukan agar menimbah hikmat dari warisan leluhur Kei yang mengingatkan kita tentang pentingnya merawat persaudaraan yang rukun melintas batas-batas ohoi, agama dan etnisitas serta status sosial. Politik sebagaimana dimaknai Yohanes Leimena (Om Jo) mestinya merupakan seni melayani kepentingan bersama bukan ajang saling adu kekuasaan tanpa pijakan etika dan solidaritas sosial. Kita semua terpanggil untuk menjadikan tahun politik sebagai tahun kebersamaan dalam perbedaan dan menempatkannya sebagai instrumen untuk mewujudkan bonnum commune, kemaslahatan bersama.
Di ujung acara itu, Ketua DPRD Maluku, Bupati Maluku Tenggara, Uskup Amboina dan MPH Sinode GPM bersama tokoh masyarakat dan budaya serta tokoh lintas agama: Pdt E Belwawin, Ketua Klasis GPM Kei Besar, Zein Matdoan, Ketua MUI Maluku Tenggara, Pdt Irene Koljaan, Ketua Klasis GPM Kei Kecil Kota Tual, berdiri dan bernyanyi bersama diikuti segenap warga yang hadir. Berikut isi syair lagu yang berjudul Hidup Rukun dan Damai itu:
Alangkah bahagianya. Hidup rukun dan damai. Di dalam persaudaraan. Bagai minyak yang harum. Bahagianya Hidup rukun dan damai. Ibarat embun yang segar. Pada pagi yang cerah. Laksana anggur yang lezat. Kan pemuas dahaga. Begitulah berkat Tuhan. Dengan berlimpah ruah. Turun ke atas mereka, kini dan selamanya.
Sungguh sebuah lagu yang indah, bagai embun segar jatuh di atas tanah Evav yang kering. Sebuah kebersamaan dalam keragaman dibingkai nilai-nilai adat budaya serta agama yang luhur. Duang inberkat itbesa ! (RR)
**) Ikuti berita terbaru Terasmaluku.com di Google News klik link ini dan jangan lupa Follow