Oleh: Elfira J. Filimditty, Mahasiswa Magister UKSW
Pada era revolusi industri 4.0 dan perkembangan teknologi yang begitu cepat, dunia pendidikan menghadapi dan mengalami transformasi besar. Bermula dari ruang kelas tradisional dengan papan tulis kapur, kini kita menyaksikan siswa belajar lewat handphone, tablet, aplikasi, dan koneksi internet dari rumah, sekolah bahkan dimana saja jika ada koneksi internet. Pertanyaan yang muncul: apakah pembelajaran konvensional masih relevan? Atau justru pembelajaran digital yang harus mendominasi masa depan pendidikan pada era sekarang?
Untuk menjawabnya, perlu dilihat secara objektif perbandingan antara pembelajaran konvensional (tatap muka langsung) dan pembelajaran digital (daring atau berbasis teknologi), serta bagaimana keduanya bisa saling melengkapi gunamenciptakan sistem pendidikan yang lebih inklusif, efektif, dan berkelanjutan.
Pembelajaran Konvensional: Fondasi yang Kokoh, Tapi Perlu Diperbarui
Pembelajaran konvensional dengan guru sebagai pusat informasi dan siswa sebagai penerima pasif, telah menjadi model dominan selama ratusan tahun selama ini. Metode ini menekankan struktur, kedisiplinan, dan interaksi langsung antara guru dan siswa. Menurut John Dewey dalam bukunya Experience and Education (1938), pendidikan harus berbasis pada pengalaman langsung. Interaksi sosial di kelas, diskusi spontan, dan kerja kelompok adalah bagian dari pengalaman belajar yang tak tergantikan. Ia menekankan bahwa “education is not preparation for life; education is life it self” . Dalam konteks ini, pembelajaran konvensional memberi ruang bagi siswa untuk belajar tidak hanya konten, tetapi juga nilai-nilai sosial, empati, dan tanggung jawab.
Kelebihan pembelajaran konvensional:
- Interaksi langsung yang memperkuat hubungan guru dan siswa.
- Struktur jadwal yang membantu pembentukan disiplin.
- Kemampuan guru untuk membaca kondisi siswa secara langsung (emosi, fokus, hingga kesulitan belajar).
- Minim ketergantungan pada teknologi.
Namun, seperti diungkapkan Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970), metode konvensional sering kali bersifat banking model, guru “menyetor” pengetahuan, siswa hanya “menerima” tanpa kritis. Model ini berisiko membuat siswa pasif, kurang kreatif, dan tidak terlatih untuk berpikir mandiri atau berpikir Kritis.
Pembelajaran Digital: Akses Tanpa Batas, Tapi Tak Semua Bisa Menjangkau
Pembelajaran digital melalui platform seperti Google Classroom, Zoom, Khan Academy, atau aplikasi edukasi lainnya menghadirkan fleksibilitas dan akses tanpa batas. Siswa bisa belajar dari mana saja, kapan saja, bahkan dari institusi terbaik dunia.
Dalam bukunya Disrupting Class: How Disruptive Innovation Will Change the Way the World Learns (2008), Clayton M. Christensen, Michael B. Horn, dan Curtis W. Johnson menjelaskan bahwa teknologi pendidikan memiliki potensi besar untuk “mendisrupsi” sistem pendidikan tradisional dengan menyediakan pembelajaran yang lebih personal, adaptif, dan murah. Mereka menekankan bahwa teknologi memungkinkan siswa belajar sesuai kecepatan mereka sendiri, mengatasi keterbatasan satu ukuran untuk semua dalam kelas konvensional.
Kelebihan pembelajaran digital:
- Fleksibilitas waktu dan tempat.
- Personalisasi pembelajaran melalui sistem adaptif.
- Akses ke sumber daya global (video, simulasi, kuis interaktif, dan evaluasi).
- Efisiensi dalam distribusi materi dan penilaian otomatis.
Namun, seperti diingatkan dalam artikel The Digital Divide in Education oleh Reich & Ito (2017) yang diterbitkan di Harvard Business Review, tidak semua siswa memiliki akses setara terhadap perangkat dan internet. Ketimpangan ini disebut sebagai digital divide, bisa memperlebar kesenjangan pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan, bahkan antara keluarga yang dapat dikatakan mampu dan tidak mampu.
Tantangan Pembelajaran Digital: Lebih dari Sekadar Teknologi
Meskipun menjanjikan, pembelajaran digital juga menghadirkan tantangan serius. Menurut penelitian Means et al. (2013) dalam laporan Evaluation of Evidence-Based Practices in Online Learning dari U.S. Department of Education, pembelajaran daring tidak selalu lebih efektif jika hanya menyalin metode konvensional ke format digital. Keberhasilan pembelajaran digital sangat bergantung pada desain instruksional, bukan sekadar kehadiran teknologi.
Artikel Online Learning: What You Need to Know oleh Darren Cambridge (2020) di Inside Higher Ed menekankan bahwa “technology is a tool, not a solution.” Tanpa pendampingan guru yang baik, motivasi siswa bisa menurun, dan pembelajaran menjadi mekanis.
Solusi Terbaik: Pendekatan Hibrida (Blended Learning)
Daripada memilih salah satu, masa depan pendidikan seharusnya bergerak menuju blended learning atau kombinasi antara pembelajaran konvensional dan digital. Model ini memungkinkan siswa memanfaatkan kelebihan kedua metode.
Contohnya:
- Siswa belajar konsep dasar melalui video interaktif di rumah (digital).
- Di kelas, guru memfasilitasi diskusi, eksperimen, atau proyek kolaboratif (konvensional).
Menurut Bonk & Graham dalam buku Handbook of Blended Learning: Global Perspectives, Local Designs (2006), blended learning meningkatkan keterlibatan siswa, memberi ruang untuk diferensiasi pembelajaran, dan memperkuat peran guru sebagai fasilitator, bukan hanya penyampai materi.
Langkah Nyata ke Depan
Untuk mewujudkan sistem pendidikan yang seimbang dan adil, menurut penulis beberapa langkah strategis perlu diambil, seperti:
- Perluasan Infrastruktur Digital: Pemerintah harus memastikan akses internet dan perangkat digital yang terjangkau bagi seluruh siswa, terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar).
- Pelatihan Guru Berkelanjutan: Guru perlu dilatih tidak hanya menggunakan teknologi, tetapi juga merancang pembelajaran hibrida yang efektif.
- Kurikulum yang Fleksibel: Kurikulum harus mendukung inovasi, bukan menghambatnya.
- Kolaborasi Orang Tua dan Sekolah: Orang tua perlu dilibatkan dalam proses belajar digital, terutama untuk memastikan penggunaan teknologi yang sehat dan produktif.
Penutup: Bukan Pertarungan, Tapi Kolaborasi
Pembelajaran konvensional dan digital bukan dua kutub yang harus saling berlawanan. Keduanya adalah bagian dari evolusi pendidikan. Seperti kata Dewey, pendidikan harus selalu berubah seiring perubahan dunia.
Tantangan kita bukan memilih antara kapur atau Handphone, tetapi bagaimana memanfaatkan semua alat yang tersedia untuk membuka peluang belajar bagi setiap siswa, di mana pun mereka berada. Di sinilah letak kebijaksanaan: bukan menolak masa lalu, tapi membangun masa depan dengan akal sehat, empati, dan inovasi.
Pendidikan yang baik bukan yang paling canggih atau yang paling tradisional, tetapi yang paling manusiawi dan berkeadilan. (***)
**) Ikuti berita terbaru Terasmaluku.com di Google News klik link ini dan jangan lupa Follow