TERASMALUKU. -SINGAPURA-MAKASSAR– Pekan pertama November 2025 menjadi babak tak terlupakan yang membuka mata saya lebar-lebar tentang lanskap industri media yang terus bergolak. Bermula dari beragam informasi Artificial Intelegent (AI) di Singapura hingga refleksi mendalam tentang Mis/Disinformasi di Kota Makassar, perjalanan ini bukan hanya tentang menimba ilmu, melainkan juga tentang menemukan kembali semangat dan jati diri di tengah disrupsi teknologi.
Panggung Strategis di Jantung Asia
Asian Media Leaders Summit 2025 (AMLS), yang diselenggarakan oleh WAN-IFRA (World Association of News Publishers) pada 3-7 November di Conrad Hotel, Singapura, adalah platform strategis yang mempertemukan para maestro media. Sebagai pertemuan tingkat tinggi CEO, penerbit, pemilik media, dan pemimpin redaksi senior, ajang ini berfungsi sebagai kompas untuk menavigasi masa depan jurnalisme.
Saya beruntung menjadi bagian dari momen ini, berkat rekomendasi dari Upi Asmaradana, CEO KGI. Perjalanan ini terasa seperti gelas kosong yang diisi dengan air: overload dengan pengetahuan dan inspirasi, siap menghadapi tiga kegiatan AI berturut-turut yang menjanjikan hal-hal luar biasa yang tak terduga.
AI, Transformasi, dan Kunci Keberlanjutan
Isu utama yang mendominasi Summit ini tak lain adalah kesiapan global dalam menghadapi ketidakpastian, tantangan ekonomi, politik, dan disrupsi teknologi. Masterclass “Managing AI Change in the Newsroom” menjadi pembuka yang vital, membahas peluang dan tantangan yang ditimbulkan oleh kecerdasan buatan dalam operasional redaksi.
Fokus utama acara ini adalah mencari solusi untuk keberlanjutan dan transformasi bisnis media digital. Para pemimpin media diajak mengidentifikasi model bisnis baru—menyeimbangkan pendapatan dari langganan, iklan, dan komersial—serta menetapkan KPI (Key Performance Indicators) yang relevan untuk industri media online.
Dua CEO Media Ternama Berbagi Strategi Kunci
Andrew Saunders CEO dan Presiden, Globe and Mail, Kanada, salah satu dari belasan pembicara dalam AMLS 2025 ini mengakui transformasi teknologi digital yang harus dilakukan oleh media terkemuka di Kanada untuk bisa tetap unggul.
Andrew adalah Presiden dan CEO The Globe and Mail yang memulai karirnya di jurnalisme, termasuk bekerja untuk surat kabar di London dan Skotlandia, dan pernah menjadi Northern Ireland Young Journalist of the Year pada tahun 1995. Sebelum menjadi CEO, Saunders menjabat sebagai Chief Revenue Officer (CRO) The Globe and Mail. Dalam peran ini, ia bertanggung jawab untuk memimpin strategi monetisasi di semua lini bisnis, termasuk langganan (subscriptions), iklan, acara & konferensi, pemasaran, dan data dan analitik. Sejak 1 September 2023, dia diangkat sebagai CEO menggantikan Phillip Crawley.
‘’Saya bertugas mempertahankan keunggulan jurnalistik The Globe and Mail sambil mengarahkan perusahaan menuju inovasi dalam lanskap media yang terus berubah,’’ ujar Andrew.
Media yang ia pimpin The Globe and Mail merupakan perusahaan media berita terkemuka di Kanada yang didirikan pada tahun 1844, dikenal sebagai surat kabar nasional Kanada yang memiliki pengaruh signifikan dalam wacana publik.
Dalam transformasi format media cetak banyak hal dilakukan Saunders diantaranya Transformasi Digital dan Monetisasi, Model Pembayaran Pembaca (Reader Pay Model) yakni model pendapatan dari pembaca (langganan digital) sebagai fondasi utama bisnis- di Indonesia biasa dilakukan oleh Tempo dan Kompas serta Project Multatuli-, perlu berlangganan untuk bisa membaca tuntas informasi yang disajikan media-media ini.
Selain itu Saunders juga melakukan Akselerasi Digital, yakni menggandakan fokus pada produk digital untuk tetap unggul, terutama di tengah tantangan pasar Kanada (seperti larangan berita oleh Meta).
Lantas ada Diversifikasi Pendapatan, menggali lebih jauh sumber-sumber pendapatan selain langganan dan iklan, mereka secara cerdas melakukan diversifikasi dengan menggelar acara, konferensi, biro perjalanan berkelas, dan edukasi seperti training kehumasan, menjadi pemateri di kampus-kampus untuk pertumbuhan pendapatan yang berkelanjutan.
”Kami meyakini, beberapa upaya untuk inovasi teknologi, dengan tetap menjaga jurnalisme independen, diferensiasi, dengan slogan The Globe and Mail menjadi berita independen dan terpercaya sebagai pembeda dan kami meyakini bahwa ada peluang bisnis jangka panjang untuk jurnalisme yang akurat, otentik, dan orisinal,’’tegas Saunders dalam presentasinya di AMLS 2025.
The Globe and Mail menjangkau lebih dari 6 juta pembaca setiap minggunya (cetak dan digital) juga memiliki jaringan premium digital yang disebut Globe Alliance, yang mewakili situs berita dan bisnis global lainnya, memungkinkan mereka menjangkau hampir 20 juta warga Kanada setiap bulannya.
Pembicara lainnya dalam AMLS 2025 adalah Kuek Yu Chuang, Deputy Chief Executive Officer (DCEO) SPH Media, dia adalah pemeran kunci dalam transformasi komersial SPH Media. Dia melibatkan strategi untuk memonetisasi aset media SPH, merangkul brand-brand terkenal menjadi mitra bisnis, dan mendorong pertumbuhan pendapatan di era digital. Sebelum bergabung dengan SPH Media, Kuek Yu Chuang memiliki pengalaman luas di bidang teknologi dan media digital. Ia dikenal karena menjabat sebagai Vice President dan Managing Director untuk Asia Tenggara di Netflix, di mana ia bertanggung jawab atas pertumbuhan dan operasi Netflix di kawasan tersebut. Chuang juga pernah memegang posisi eksekutif senior di LinkedIn, memimpin ekspansi dan operasi mereka di Asia Pasifik.
Dengan latar belakang yang kuat di platform teknologi global ini, fokusnya di SPH Media adalah membawa perspektif dan strategi transformasi digital yang agresif untuk memastikan keberlanjutan dan pertumbuhan organisasi media di Singapura.
SPH Media Trust adalah perusahaan media utama di Singapura. Perusahaan ini dibentuk sebagai perusahaan nirlaba (non-profit entity) pada Desember 2021, setelah dipisahkan dari Singapore Press Holdings (SPH) yang merupakan entitas bisnis yang lebih luas (properti, dll.).
Menurut Chuang untuk menyediakan jurnalisme berkualitas tinggi demi kepentingan publik di Singapura. SPH Media menerbitkan sejumlah publikasi yang sangat berpengaruh di Singapura dan Kawasan Asian, diantaranya The Straits Times (surat kabar berbahasa Inggris), Lianhe Zaobao (surat kabar berbahasa Mandarin). Berita Harian (surat kabar berbahasa Melayu). Tamil Murasu (surat kabar berbahasa Tamil). Media ini menjangkau audiens Multi-platform yakni platform cetak, digital, dan siaran (radio dan video).
Chuang menyebutkan strategi SPH Media saat ini, berfokus pada transformasi digital dan komersial untuk menghadapi tantangan disrupsi. Juga mendorong transisi dari ketergantungan pada pendapatan iklan cetak ke pendapatan langganan digital (reader revenue). Karena Chuang menyadari ada perbedaan dari model nirlaba tradisional, SPH Media berusaha keras untuk mengintegrasikan brand-brand terkemuka sebagai mitra bisnis, menciptakan solusi konten bermerek (branded content), dan mendiversifikasi pendapatan komersial untuk mendukung misi jurnalistiknya.
Chuang dan tim juga mengakui investasi teknologi ruang redaksi untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas jurnalisme, termasuk pemanfaatan data dan AI dalam operasional ruang redaksi adalah sebuah keniscayaan.
Asian Media Awards WAN-IFRA
AMLS seringkali beriringan dengan perayaan keunggulan melalui Asian Media Awards (AMF/AME Awards) yang diselenggarakan oleh WAN-IFRA. Penghargaan ini menyoroti praktik terbaik di industri media di Asia.
Dengan sejumlah kategori yakni Best in Digital News Startup: Mengakui inovasi platform berita digital baru. Best News Website/App: Menghargai desain, user experience, dan konten terbaik. Best in Data Visualisation: Kategori yang kini sangat penting untuk menyampaikan cerita kompleks. Best in Audience Engagement: Menilai strategi media dalam membangun komunitas dan interaksi. Best in Advertising/Marketing: Kreativitas dalam model iklan dan monetisasi.
Dari daftar tersebut, Media di Indonesia meraih banyak sekali award, diantaranya Kumparan meraih empat kategori, Kompas satu kategori, Bisnis Indonesia lima kategori dan seorang penggiat film dari Jogja juga meraih award untuk satu kategori.
Asian Media Leaders Summit secara konsisten menjadi barometer industri media. Pada tahun-tahun sebelumnya, fokus utamanya selalu bergeser seiring perkembangan teknologi dan perubahan geopolitik,
Tahun 2024 bertempat di Singapura mengupas Monetisasi Berkelanjutan, Kepercayaan Publik, dan Ekonomi Berita Pasca-Pandemi. Tahun 2023 di Kuala Lumpur, Malaysia mengusung tema Strategi Langganan (Subscription Strategy), Inovasi Redaksi, dan Tata Kelola Data. Lantas tahun 2022 di Singapura secara Virtual membahas Disrupsi Total, Membangun kembali bisnis media yang tangguh dan Pemanfaatan First-Party Data.
Dalam AMLS 2025 mempertegas pergeseran fokus ke AI dan Transformasi Komersial Mendalam, menunjukkan bahwa industri media kini berada pada titik kritis—di mana teknologi harus menjadi alat untuk keberlanjutan bisnis, bukan sekadar pelengkap operasional.
Sebanyak enam jurnalis perempuan dari Indonesia Timur, diantaranya Jayapura, Timika, Ambon, Ternate, dan Makassar, yang didukung oleh WAN-IFRA, BBC, dan KGI, diundang ke AMLS 2025 ini.
Hendrina Dian Kandipi, Kepala Biro Antara Jayapura, mengaku merasa beruntung bisa ikut dalam perjalanan ke Singapura ini, bagi dia belajar langsung dari para pakar AI untuk newsroom dan model bisnis media digital merupakan kesempatan emas karena dari informasi dan data yang ia terima bisa diterapkan di ruang redaksinya.
‘’Banyak yang bisa saya pelajari dari perjalanan ini, sebuah keberuntungan bisa mendengar langsung transformasi teknologi informasi yang diterapkan di ruang redaksi dari berbagai negara,’’ ungkap Dian.
Energi Baru dari Timur: Inspirasi Jurnalis Perempuan Menangkal Mis/Dis dan Malinformasi Berprespektif Gender
Setelah Singapura, perjalanan belajar berlanjut ke Makassar pada 8-13 November, dalam dua kegiatan menarik: Mis/Disinformasi Perspektif Gender dan Debunking Artifisial Intelegent for Media. Ilmu yang saya peroleh semakin mendalam, tidak hanya tentang AI dan isu gender, tetapi juga tentang pengembangan diri. Pengalaman batin ini tak terlupakan. Merasa lega dan tidak sendirian, saya meyakini bahwa networking dan kolaborasi, adalah kunci untuk menavigasi dunia yang semakin kompleks.
Kegiatan yang merupakan bagian dari inisiatif kolaboratif antara BBC Media Action (lembaga amal internasional BBC) dan Kabar Makassar. Pada 8-11 November 2025 menjadi saksi bisu banyaknya mis dan disinformasi yang dimunculkan baik berupa mitos maupun fakta, bahkan pekerjaan rumah terutama bagi jurnalis perempuan melawan kecepatan dan kecanggihan disinformasi yang kini diperkuat oleh Artificial Intelligence (AI).
Bekerja sama dengan BBC Media Action dan didukung oleh Pemerintah Inggris di Indonesia, Kabar Makassar mengadakan yang menyasar para jurnalis perempuan dari Sulawesi, Maluku, Maluku Utara, hingga Papua, isu spesifik seperti mis/disinformasi berbasis gender menjadi salah satu isu krusial yang dibedah. Di tengah rendahnya literasi media, kecepatan AI memproduksi informasi palsu, dan kerentanan masyarakat terhadap penipuan (scamming) akibat hoaks, jurnalis perempuan ditantang untuk mampu mengidentifikasi informasi yang mengalami dis / mis bahkan malinformasi.
Catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2M) tahun 2022 sebanyak 82,6 persen jurnalis perempuan mengalami kekerasan seksual ini jelas berkorelasi pada kurangnya kesadaran dan edukasi atas isu-isu gender dan budaya patriarki yang masih kental di masyarakat kita. Serta tentu saja perlu membangun pemahaman bersama dalam memetakan kurangnya data dan informasi terkait isu gender karena maraknya dis, mis dan malinformasi yang beredar.
Luviana Ariyani, Chief Editor Konde.co yang menjadi pemateri bersama Astudestra Ajengrastri dari BBC Indonesia memastikan mis/dis dan malinformasi mampu diidentifikasi atau dipetakan dalam proses produktif jurnalis dalam menulis berita. Sehingga dapat menjalankan fungsi edukasi bagi masyarakat agar tak mudah percaya atau bahkan terprovokasi atas fake news yang berseliweran di media sosial saat ini.
Sementara Luca Cada Lora, AI Expert menyatakan pentingnya memahami tools untuk mendeteksi kesalahan informasi yang muncul di media digital. Proses pengecekan yang dilakukan AI dengan tools yang tepat tentu saja bisa memudahkan kerja jurnalis dalam proses produktifnya.
‘’Memahami teknologi merupakan kunci kerja profesi seperti jurnalis. Kemampuan jurnalis perempuan dalam integrasi teknologi dan memahami kerja AI akan memudahkan dalam melacak mis/dis dan malinfromasi yang beredar,’’ tegas Luca yang dalam usia mudanya mampu menciptakan tools AI ini.
Isu Gender: Narasi yang Paling Rentan
Pravita Kusumaningtias dari BBC Media Action menyebutkan konteks mis/dis dan malinformasi berbasis gender seringkali muncul dalam bentuk serangan terstruktur yang menargetkan perempuan, terutama mereka yang aktif di ranah publik atau politik. Hoaks semacam ini tidak hanya merusak reputasi, tetapi juga berpotensi menciptakan bahaya di dunia nyata dan menghambat partisipasi perempuan dalam masyarakat.
Pelatihan ini membekali peserta dengan kemampuan fact-checking mendalam dan pemahaman konteks sosial untuk tidak hanya sekadar membersihkan berita, tetapi juga mengungkap bias di balik informasi palsu yang beredar.
Pravita menyebutkan pelatihan ini juga mengajarkan jurnalis mampu menciptakan konten yang efektif, akurat, dan mudah dicerna untuk melawan narasi palsu, termasuk yang menyerang individu atau kelompok berdasarkan gender.
Training Advanced Tracking AI
Dua hari terakhir dari perjalanan ini, menghantarkan saya pada pelatihan yang paling saya minati yakni teknik rebunking dan debunking AI, Training Advanced Tracking AI, yakni menggunakan alat dan teknik pelacakan canggih untuk mengidentifikasi sumber dan pola penyebaran mis/disinformasi.
Heru Margianto, Managing Editor Kompas.com, yang mengantarkan materi Teknik Fact-Checking dan Penerapan AI di Ruang Redaksi, menyebutkan Fact-checking adalah proses penting dalam jurnalisme untuk memverifikasi kebenaran suatu klaim, pernyataan, atau informasi sebelum dipublikasikan. Tujuannya adalah melawan misinformasi (kesalahan yang tidak disengaja) dan disinformasi (informasi palsu yang sengaja disebarkan).
Menurut Heru yang akrab disapa Embonk ini, harus selalu Verifikasi Sumber (Source Verification), untuk memastikan sumber harus kredibel, otoritatif, dan relevan, sumber juga independen dan terpercaya untuk menguatkan klaim tersebut. Lantas Analisis Bukti (Evidence Analysis), mengumpulkan data, statistik, dokumen resmi, atau laporan ilmiah untuk menguatkan atau menyanggah.
Selanjutkanya Heru mengatakan Analisis Konten Visual (Visual Analysis Content) dengan menggunakan reverse image search atau alat analisis metadata untuk mengecek konteks, tanggal, dan keaslian foto/video, serta mendeteksi manipulasi.
‘’Konfirmasi Silang untuk membandingkan informasi yang sama dari berbagai sumber primer (utama) yang independen dan terpercaya. Penelusuran Konteks untuk memeriksa apakah klaim tersebut disajikan dalam konteks yang benar, atau apakah informasi lama digunakan untuk narasi baru,’’jelas Embonk saat saya mempertanyakan hal ini.
Namun berdasarkan etika jurnalisme, Heru mengingatkan kita semua bahwa penerapan Kecerdasan Buatan atau AI di ruang redaksi, berfungsi sebagai alat bantu untuk meningkatkan efisiensi, kecepatan, dan akurasi, terutama dalam menghadapi volume informasi yang massif bukan untuk memanipulasi.
Dalam sessi praktek, Luca Cada Lora, AI Expert, menunjukkan sejumlah tools atau perangkat AI yang bisa digunakan untuk sejunmlah peran mulai dari guna chat GPT yang secara signifikan mempercepat proses verifikasi, menambah bahkan mengurangi informasi berdasarkan prompt yang diberikan, sebab Algoritma AI dapat memindai media sosial dan platform berita untuk menandai klaim yang berpotensi palsu atau mencurigakan agar segera diverifikasi oleh jurnalis.
Luca menyebutkan sejumlah tools analisis data AI yang dapat dengan cepat memproses dan menganalisis set data besar untuk menemukan inkonsistensi atau pola dalam klaim berbasis statistic, serta sejumlah tools AI membantu mendeteksi deepfake (video/audio palsu buatan AI) atau manipulasi gambar yang kompleks.
Meski menurut Heru dan Luca pembuatan berita otomatis bisa menghasilkan artikel rutin dan berbasis data, seperti laporan cuaca atau laporan keuangan bisa dengan mudah dilakukan namun AI bagi mereka hanya alat bantu.
Namun mempermudah kerja jurnalis seperti membuat transkripsi dan ringkasan hasil rekaman wawancara (audio) menjadi teks dan membuat ringkasan cepat dari dokumen atau laporan yang panjang juga disarankan kedua pakar ini.
Bagi model bisnis media AI juga bisa melakukan personalisasi konten karena AI menganalisis minat pembaca untuk merekomendasikan konten yang paling relevan bagi mereka.
Namun terlepas dari semua itu menurut Luca tantangan AI adalah penerapan AI memerlukan pengawasan ketat agar tidak adanya bias algoritma. Senada dengan Luca, Heru juga menegaskan ruang redaksi harus jelas mengenai kapan AI digunakan (misalnya, membuat konten atau memverifikasi data) untuk menjaga akuntabilitas.
Karena itu Heru lebih mengharapkan setiap ruang redaksi memahami teknik fact-checking tetap berpusat pada keputusan dan etika jurnalis, sementara AI berfungsi sebagai akselerator yang kuat untuk memproses data, mendeteksi pola, dan mengotomatisasi tugas repetitif.
Menurut saya setiap pemateri memiliki konsederasi etika yang sama yang memang harus selalu menjadi dasar etika dalam penerapan teknologi dalam hal apapun jika tidak ingin terjadi bias.
Inilah perjalanan terbaik saya mendapatkan begitu banyak data, informasi tentang masa depan jurnalisme Indonesia dan tentu saja menjadi lebih bijak dalam proses penerapannya. (*)
Oleh: Insany Syahbarwaty
**) Ikuti berita terbaru Terasmaluku.com di Google News klik link ini dan jangan lupa Follow









