Sekitar tahun 1887 terjadi perdebatan besar dalam komunitas sejarawan tentang bagaimana seharusnya seorang sejarawan menilai masa lalu. Mandel Creighton, Uskup Agung Gereja Inggris waktu itu, cenderung memandang bahwa tidak perlu memberikan kritik terhadap figur-figur pemimpin yang penuh otoritas. Itu nampak dalam tulisannya tentang masa lalu yang menggunakan kerangka relativisme moral sehingga dianggap tidak kritis terhadap para pemimpin, misalnya terkait persoalan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh Paus atau Raja di masa lalu. Relativisme moral berarti tidak ada nilai moral utama yang secara umum dapat dipegang oleh semua orang. Penilaian, tindakan, dan kebenaran moral adalah hal yang subyektif, tergantung pada seseorang dan situasi, budaya, atau perasaan yang dihadapinya.
John Demerich Edward Dalberg-Acton, lebih dikenal dengan nama Lord Acton, menyatakan tidak sepakat terhadap sudut pandang Creighton. Baginya, meskipun dia seorang Katolik tetapi tidak dapat mengabaikan kecenderungan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan dari pemimpin agamanya. Dia berpendapat bahwa semua orang – di masa lalu atau masa kini, pemimpin atau bukan – harus berpegang pada standar moral yang universal.
Pada 15 April 1887, Acton menulis surat kritik kepada Creighton. Saduran yang cukup ketat terhadap suratnya pada paragraf ketujuh tertulis bahwa: “Saya tidak bisa menerima pendapat Creighton yang menyatakan kita tidak bisa menilai Paus atau Raja seperti menilai orang kebanyakan berdasarkan pra-anggapan bahwa mereka tidak bisa berbuat salah. Jika memang harus ada pra-anggapan maka itu mestinya dibuat melawan para pemegang kekuasaan, di mana pra-anggapan itu semakin besar seiring dengan meningkatnya kekuasaan. Tanggung jawab sejarah (yaitu, sebagai penilaian para sejarawan kemudian) mesti dikerjakan dalam kepentingan tanggung jawab hukum (yaitu, konsekuensi-konsekuensi hukum dalam masa hidup penguasa). Kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut secara absolut korup. Orang-orang hebat hampir selalu adalah orang yang jahat juga, meskipun mereka menjadi hebat karena punya pengaruh dan bukan otoritas semata: terlebih lagi ketika ditambahkan kecenderungan atau kepastian korupsi karena berkuasa.”
Salah satu bagian dari isi surat Lord Acton kepada Mandel Creighton tersebut kemudian dijadikan kutipan di mana-mana sampai saat ini ketika orang berbicara tentang kekuasaan dan korupsi. Bagian itu adalah Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely (Kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut secara absolut korup).
Saya menampilkan konteks lahirnya kutipan terkenal itu di tengah beragam komentar pada media sosial yang terbelah terkait ditetapkannya Walikota Ambon Richard Louhenapessy sebagai tersangka kemudian ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 13 Mei 2022 lalu. Ada yang memberikan dukungan moril bahkan tetap memuja, ada yang menyayangkan kejadian tersebut namun ikut berempati, ada yang senang karena kasus korupsi terungkap bahkan cenderung menghakimi, malah ada yang dalam komentarnya memarahi bahkan mengutuki orang-orang yang memberikan komentar berbeda.
Di era keterbukaan informasi dan komunikasi dalam ruang-ruang virtual saat ini, semua orang berhak menyampaikan pendapat dengan sudut pandang berbeda terhadap satu isu termasuk korupsi. Saya melihatnya seperti menghadirkan lagi situasi perdebatan Creighton dan Acton di atas secara lokal di Maluku masa kini. Bedanya adalah Creighton dan Acton saling berdebat lewat surat dalam kesantunan tingkat tinggi dengan argumentasi-argumentasi yang menguatkan pendapat mereka masing-masing sementara komentar-komentar di media sosial saat ini sangat terbuka, beberapa tidak santun, bahkan muncul dengan identitas palsu.
Kembali ke topik, Sejak Januari sampai Mei 2022 telah lima orang kepala daerah di Indonesia yang ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh KPK. Mereka adalah Walikota Bekasi Rahmat Effendy (6/1/2022), Bupati Penajam Paser Utara Abdul Gafur Mas’ud (13/1/2022), Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin-Angin (18/1/2022), Bupati Bogor Ade Yasin (26/4/2022), dan terakhir Walikota Ambon Richard Louhenapessy (13/5/2022). Sebelumnya, mantan Bupati Buru Selatan Tagop Sudarsono Solisa telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan KPK (26/1/2022). Hal yang disangkakan KPK kepada seluruh penyelenggara pemerintahan di daerah tersebut adalah suap.
Suap adalah tindakan korupsi yang dalam batasan pengertian Undang-undang tentang Tindak Pidana Korupsi di Indonesia berarti memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara agar melakukan sesuatu yang berhubungan dengan jabatannya tetapi bertentangan dengan kewajibannya. Suap selalu dimulai dengan pembicaraan untuk menyepakati hal-hal tertentu. Pembicaraan dan kesepakatan sebelum suap terjadi itu menunjukkan adanya niat jahat sehingga ketika uang atau barang suap diberikan dan diterima, maka niat itu terbukti benar. Secara logika berarti para kepala daerah yang disebutkan di atas telah disangkakan berniat jahat dan membuktikan niat itu lewat tindakan.
Korupsi adalah kejahatan moral yaitu tindakan manusia yang secara moral salah dan berpengaruh pada kehidupan orang lain. Kecenderungan untuk korupsi semakin besar dengan adanya kekuasaan yang dipegang karena otoritas sebagai pengambil keputusan baik program maupun keuangan. Meskipun hukuman terhadap kejahatan moral diatur dalam regulasi dan dikenakan hukuman secara formal oleh institusi-institusi penegak hukum tetapi hukuman paling berat dari kejahatan moral adalah penilaian masyarakat yang bisa saja bertahan dari generasi ke generasi, apalagi dengan adanya jejak-jejak digital yang sangat sulit dihapus di masa depan.
Korupsi sebagai kenyataan empiris, hadir di segala lini dan arena. Mengulik lagi beberapa berita yang dimuat media lokal di Maluku, saya mendapati bahwa sekelas lembaga agama seperti gereja yang diyakini menjadi perumus dan penjaga moral pun para pengurusnya tidak luput dari sangkaan korupsi (apakah ada proses pembuktian atau hanya diselesaikan secara internal? Walahualam). Sebut saja berita harianmerahputih.id tanggal 16 Februari 2021 berjudul Korupsi PAT Gate Dibawa ke Ranah Hukum, berita Siwalimanews.com tanggal 17 Februari 2021 berjudul Dana Gereja Berujung Pidana, berita Tualnews.com tanggal 26 April 2022 berjudul Diduga Ada Korupsi Pembangunan Gereja Protestan Weduar Fer, Aparat Hukum diminta Sidik Panitia, dan beberapa lainnya. Mungkin karena tidak berkaitan dengan PNS dan penyelenggara negara sehingga tidak terdengar tindak lanjutnya, perlu dikonfirmasi lagi.
Situasi yang memperkuat kecenderungan terjadinya korupsi sangat beragam. Alina Rocha Menocal dan tim (2015) dalam laporan mereka yang diterbitkan oleh UK Department of International Development menemukan bahwa korupsi adalah tindakan bersama, bukan individu, yang di dalamnya terdapat hubungan-hubungan sarat kepentingan. Laporan itu mencatat beberapa temuan tentang penyebab korupsi yaitu: (1) Korupsi di sektor pelayanan publik terjadi karena rendahnya insentif birokrasi dan lemahnya pengawasan yang memungkinkan para birokrat memanipulasi tawaran pasar (contoh adalah suap tender pengerjaan proyek, suap pengadaan barang dan jasa, dan sebagainya); (2) Pemerintahan yang lemah, yang memungkinkan sangat banyak diskresi di luar standar-standar pengambilan kebijakan yang baik; (3) Hubungan kekuasaan dan negosiasi politik yang memungkinkan adanya transaksi-transaksi kebijakan; (4) Korupsi dalam arena kompetisi elektoral (korupsi dalam proses pemilihan umum) yang telah mendarah daging dalam sistem politik; (5) Korupsi sebagai kutukan Sumber Daya Alam (SDA) di mana penguasa cenderung dihadapkan pada tawaran-tawaran pengusaha yang ingin berinvestasi untuk eksplorasi dan eksploitasi SDA namun melalui jalan-jalan pintas; (6) Korupsi yang diglorifikasi (dipuja) secara tidak langsung dalam kehidupan sehari-hari dan dianggap sudah lumrah sehingga tidak perlu dipertanyakan (seperti manipulasi karcis parkir, pemberian tip pada penjual tiket, pemberian uang rokok saat mengurus administrasi tertentu, dll.); (7) Korupsi terkait bencana dan bantuan kebencanaan.
Fakta lain dari percakapan tentang korupsi adalah seringkali mengikutsertakan Tuhan dengan anggapan bahwa itu adalah ujian, seolah-olah Tuhan menghendaki supaya kejahatan seperti suap itu ada sebagai bagian dari ujianNya kepada manusia. Berarti yang lulus ujian adalah mereka yang tidak korupsi dan yang korupsi itu tidak lulus ujian. Kemudian ada ujian berikutnya yaitu kalau disangkakan korupsi (bisa terbukti korupsi atau sebaliknya, terbukti tidak korupsi) dan mampu melewati proses hukum itu dengan baik, sabar, dan tabah maka telah lulus ujian dari Tuhan, sementara yang marah-marah, depresi, jatuh sakit, hingga meninggal berarti tidak lulus ujian Tuhan. Jika begitu, sesungguhnya ada kecenderungan relativisme moral dalam menilai orang lain. Bagi saya, korupsi itu dilakukan secara sadar sehingga tidak harus menjadikan seseorang sebagai korban dari tindakan yang dilakukannya secara sadar. Mestinya penguasa yang baik itu tetap bertindak baik karena berpegang teguh pada nilai-nilai moral universal tentang kebaikan, bukan bertindak baik tergantung situasi dan kondisi. Itu yang menjadi pokok perdebatan antara Creighton dan Acton seperti yang dibahas secara singkat di atas.
Saya menganut pandangan bahwa setiap kata yang telah diucapkan atau ditulis dan tindakan yang telah dilakukan manusia adalah final dan tetap, tidak bisa direvisi dengan cara apapun. Setiap kata dan tindakan dengan tujuan merevisi atau memperbaiki kata-kata itu adalah kata atau tindakan baru yang sama sekali lain dan sifatnya final atau tetap pula. Yang dapat dilakukan terkait kesalahan adalah tidak perlu menyesal dan tidak boleh diulangi. Sebagai contoh, meskipun kita hidup dalam konteks digital di mana kata-kata yang tertulis dengan sangat mudah dihapus dan diperbaiki (deleted dan edited) tetapi pilihan kata pertama dan tindakan menulis kata pertama itu final, begitu juga tindakan menghapus, memilih kata baru, dan menulisnya lagi adalah tindakan lain yang final. Demikian halnya dengan rangkaian peristiwa korupsi yang terdiri atas momen-momen tertentu yang sifatnya final dan absolut. Itu adalah sudut pandang menggunakan kacamata filsafat proses Alfred North Whitehead.
Menurut Whitehead, dunia dibentuk bukan berdasarkan sesuatu (a thing) tetapi oleh peristiwa (happenings) yang disebutnya entitas aktual yaitu momen-momen sebagai satuan terkecil peristiwa. Whitehead membedakan entitas aktual berdasarkan level-levelnya, yaitu pertama entitas aktual dalam ruang hampa, kedua entitas aktual yang merupakan momen dalam sejarah hidup benda-benda tidak hidup dalam hal ini elektron dan proton, ketiga entitas aktual yang merupakan momen dalam sejarah benda-benda hidup (hewan dan tumbuhan), dan keempat entitas aktual yang merupakan momen dalam sejarah benda-benda yang hidup dengan kemampuan sadar yaitu manusia.
Salah satu inti dari filsafat proses Whitehead adalah bahwa setiap kenyataan merupakan proses perpaduan kutub fisik dan mental sebagai pengada. Kutub fisik menangkap entitas-entitas aktual apapun yang telah final sebagai pengada dan kutub mental memproses hasil tangkapan kutub fisik itu untuk membentuk entitas aktual baru sebagai citra diri. Proses menangkap dan membentuk entitas aktual sebagai pengada disesuaikan dengan level-level di atas.
Citra diri adalah entitas aktual yang akan ditangkap oleh kutub fisik benda-benda hidup berkesadaran lainnya (manusia lain) untuk diproses secara mental menjadi entitas aktual lain. Jika citra diri berubah maka secara logis dianggap sebagai proses dinamis dari perpaduan kutub fisik dan mental. Terdapat empat tahap pembentukkan pengada aktual yaitu pertama tahap datum atau pengumpulan data (mendengar, melihat, dan fungsi kutub fisik lainnya), kedua tahap pengolahan data (proses mental mengkategorikan data-data yang telah dikumpulkan), ketiga tahap kepenuhan diri (proses mental menilai kategori-kategori data), dan keempat tahap keputusan (proses mental memilih kategori yang akan membentuk citra diri). Tiap peristiwa dan benda (terutama kata-kata dan tindakan manusia) adalah bentuk final dari tahap keempat, yang oleh Whitehead disebut superjek (yang dilemparkan melampaui), yang menunjuk pada kenyataan bahwa suatu peristiwa atau benda-benda merupakan hasil dari interaksi nilai-nilai yang ditawarkan oleh seluruh entitas aktual yang dapat ditangkap kutub fisik. Penjelasan sederhana superjek adalah kata itu final ketika telah diucapkan atau ditulis, begitu juga tindakan itu final ketika telah dilakukan, bukan ketika kata-kata atau tindakan masih dipikirkan.
Dalam kacamata Whitehead itu dapat disimpulkan bahwa (1) proses di dalam dunia dipengaruhi oleh masa lalu atau oleh entitas aktual yang sifatnya telah final (superjek), tidak dipengaruhi masa depan atau oleh akibat “yang mungkin ditimbulkan” oleh suatu peristiwa atau benda karena belum berproses. Kemungkinan di masa depan bisa saja kebaikan atau kejahatan tergantung pada citra diri yang dibentuk dari interaksi nilai-nilai entitas aktual yang ditangkap kutub fisik dan diproses kutub mental; (2) adanya kejahatan moral adalah bentuk superjek sebagai entitas aktual manusia yang telah melewati proses pengumpulan data, pengolahan data, kepenuhan diri, dan keputusan. Oleh karena itu, setiap kejahatan moral adalah keputusan sadar manusia; (3) selain kejahatan, ada kebaikan sebagai keputusan sadar manusia.
Membaca kasus suap sebagai bentuk korupsi dalam kacamata filsafat proses Whitehead mestinya menyadarkan kita bahwa itu adalah peristiwa yang terjadi dan dibentuk oleh serangkaian momen sebagai entitas aktual (kata, tindakan, dan benda) yang saling berinteraksi dan melibatkan banyak orang. Momen-momen itulah yang akan dibuktikan sesuai prosedur hukum. Niat jahat sebagaimana pengertian suap di atas dalam kacamata ini belumlah menjadi entitas aktual. Niat jahat masih dalam proses mental antara menilai kategori-kategori data dan mengambil keputusan, belum tiba pada tahap keputusan yang membuatnya siap dilemparkan melampaui proses mental (superjek) menjadi entitas aktual atau citra diri. Niat tidak bisa disalahkan atau dibenarkan selama belum menjadi kata-kata yang terucap atau tindakan yang dikerjakan. Niat jahat bukanlah peristiwa dan tidak akan menjadi peristiwa selama masih bisa diganti niat baik karena pertimbangan terhadap kategori-kategori data lain.
Saya sepakat dengan pra-anggapan Lord Acton yang mesti dilekatkan kepada semua penguasa bahwa kekuasaan itu cenderung korup sampai penguasa tersebut dapat membentuk citra diri kalau tidak korup sepanjang masa kekuasaannya. Dalam posisi dan otoritasnya, penguasa dihadapkan dengan banyak momen, seperti yang digambarkan oleh Menocal dan tim di atas, yang nilai-nilainya saling berinteraksi. Selain memiliki kemampuan memanfaatkan momen-momen itu sebagai data, penguasa mestinya juga mampu menangkap dan memproses kategori-kategori data tentang kebaikan-kebaikan universal yang dituntut terkait posisi dan jabatannya. Dengan tahapan-tahapan pembentukan citra diri sebagaimana bacaan terhadap Whitehead, semestinya bisa memberikan ruang dan waktu untuk mematahkan pra-anggapan Acton dan menyatakan bahwa kekuasaan tidak korup. Sayang sekali, peristiwa demi peristiwa yang terjadi terus menerus menjadi bukti bagi benarnya pra-anggapan Acton tersebut.
Setelah tiba di paragraf terakhir ini, saya langsung tersadar bahwa ekosistem korupsi sementara dipelihara bersama dalam opini-opini liar di masyarakat dan mungkin saja terjadi dalam momen-momen penuh rahasia di belakang layar sambil menunggu siapa yang tergelincir dalam tindakan.