Wacana Etnisitas dan Ideal Meritokrasi Birokrasi Maluku Oleh: Rudy Rahabeat, Pebelajar Antropologi

oleh
oleh
Rudy Rahabeat

Sebuah media lokal terbitan Ambon dengan terus terang menulis tentang kontestasi etnisitas dalam rekruitmen pejabat di birokrasi pemerintahan provinsi Maluku. Arus Lease, arus Werinama, arus Geser dan laut Banda disebutkan secara eksplisit. Ini tentu suatu simplifikasi. Sebab di Maluku ada banyak arus dan gelombangnya. Tetapi diksi dan perspektif jurnalis koran ini menarik dicermati untuk menelisik lebih jauh hal-hal yang lebih mendasar di bawah arus itu. Tentu untuk maksud itu, saya mengundang kolaborasi para cendekia di Maluku untuk memberi kontribusi pemikiran terkait hal ini. Tulisan sederhana ini diniatkan sebagai sebuah pemantik diskusi. Saya lebih fokus pada tema etnisitas sebagai sebuah konstruksi sosial.

Ketika memilih topik penelitian disertasi di departemen Antropologi Universitas Indonesia (2021), saya dengan sadar dan subjektif memilih tema etnisitas sebagai fokus studi, dengan perbandingan etnis Ambon dan Bugis. Tentu etnisitas dalam studi dimaksud tidak dimaknai secara kaku dan mekanistik, tetapi cair (fluid) dan dinamis. Etnisitas tidak semata berkaitan dengan kesamaan biologis dan wilayah, namun selalu dikonstruksi secara terus menerus, beririsan dengan dimensi relasi kuasa dan selalu terbuka untuk pemaknaan baru. Dalam kepentingan tulisan ini, saya mengakui adanya batas-batas etnisitas sambil tetap sadar bahwa batas-batas itu tidak bersifat esensial.

Koran terbitan Ambon itu mencoba menelisik pergerakan arus etnisitas dalam posisi birokrasi Maluku, dalam hal ini posisi Sekretaris Daerah Maluku. Menariknya pergerakan itu dibarengi dengan isu meritokrasi yang berbasis pada prestasi dan kualitas individu. Apakah birokrasi pemerintah Maluku saat ini akan dibangun murni pada sistem meritokrasi? Rasanya butuh elaborasi terkait wacana ini. Bukan karena sistem itu tidak efektif, tetapi sistem ini pada dirinya sendiri bisa terjebak dalam sebuah ilusi. Sebagai contoh, dalam tulisan Paradoks Meritocrasy, Melisa Sandgren (2016) menyebutkan bahwa ketika meninjau resume selama perekrutan, bias bawah sadar kita – atau bias yang tidak kita sadari yang memungkinkan kita mengumpulkan informasi dengan cepat – sering kali menemukan bahwa kita lebih menyukai kandidat laki-laki daripada perempuan dan nama yang terdengar “kulit putih” (seperti Emily dan Greg) daripada nama yang terdengar lebih etnik (seperti Lakisha dan Jamal). Faktanya, baik laki-laki maupun perempuan akan lebih suka mempekerjakan pelamar laki-laki – bahkan ketika catatan akademisnya sama (Melisa Sandgren: The Paradox of Meritocracy:2016)

Sandgren merujuk pada data-data di Amerika, antara lain di Silicon Valley. Di negara yang boleh disebut demokratis saja, praktek rekruitmen masih bias gender dan ras. Bagaimana dengan negara-negara yang masih bergumul dengan demokratisasi bidang-bidang kehidupan. Dalam kaitan ini, kita dapat mengkritisi dan memberi perspektif terkait meritokrasi dan wacana etnisitas di Maluku.

Secara antropologis dan sosiologis, Maluku adalah wilayah yang sangat multikultural. Perbedaan agama, etnis, bahasa, adat dan tradisi merupakan kekayaan yang patut dibanggakan. Persoalannya menjadi dilematis ketika perbedaan ini tidak dikelola secara bijak dengan memperhatikan kaidah-kaidah etik dan aspek keadilan. Masing-masing etnik berjuang untuk mendapat pengakuan (rekognisi) dan diakomodir (representasi) pada jabatan-jabatan publik. Pergulatan ini bukan saja bersifat internal tetapi juga eksternal dalam bingkai Keindonesiaan. Jargon “Maluku par Samua” misalnya mengirimkan sinyal tentang pentingnya keterbukaan dan partisipasi semua pihak (baca:etnis). Ketika ruang itu hanya diisi oleh etnis-etnis tertentu, maka dapat menimbulkan ketegangan bahkan berpotensi konflik (laten maupun manifes).

Tentu dibutuhkan penyikapan yang arif terhadap realitas ini. Selain prinsip-prinsip meritokrasi yang berbasis prestasi dan kualitas, namun tak dapat diabaikan pula mempertimbangkan keterwakilan dari masing-masing etnis. Ini bukan perkara sederhana. Ini pula ujian kepada para pemimpin untuk mengambil kebijakan dan keputusan politik yang berdampak publik. Apalagi di era media sosial saat ini, masyarakat dengan massif dapat memberikan reaksi dan respons terhadap setiap kebijakan pemerintah, termasuk seperti yang dilakoni oleh koran tersebut di atas. Kontrol media juga merupakan imperatif untuk menjamin keadilan dan kebaikan bersama.

Ardiman Kelihu (2025) dalam penelitian tesisnya yang dibukukan dengan judul: Gagalnya Mobilisasi Etnis: Orang-Orang Leihitu dan Seram di Pilkada Maluku Tengah membahas politik identitas etnis dalam Pilkada Maluku Tengah, menyoroti bahwa mobilisasi etnis tidak selalu menentukan kemenangan. Kasus etnis Leihitu dan Seram menunjukkan bahwa fragmentasi politik, klientelisme, dan kepentingan elit lokal melemahkan konsolidasi etnis sebagai kekuatan politik. Penelitian ini menarik sebagai salah satu referensi selain karena dilakukan oleh seorang anak Maluku tetapi juga dapat menjadi “pintu masuk” untuk mengulik wacana etnisitas dalam ruang-ruang lainnya, seperti pada ruang rekruitmen pejabat birokrat di pemerintahan Maluku dan atau di mana saja.

Kesimpulannya, berita pada media massa itu dapat menjadi jendela kecil untuk melakukan penelitian dan deskripsi mendalam (thick description) tentang kaitan etnisitas, meritokrasi dan pemerintahan yang adil dan kontekstual untuk menjamin upaya-upaya mempercepat kesejahteraan masyarakat Maluku yang plural ini. Di sini dengan niat baik dan kecintaan kepada Maluku maka kolaborasi kajian dan tulisan para ilmuan bahkan siapapun sangat penting untuk memberi gagasan-gagasan empatik dan konstruktif, bukan sekedar pragmatisme politik. (RR)

**) Ikuti berita terbaru Terasmaluku.com di Google News klik link ini dan jangan lupa Follow

No More Posts Available.

No more pages to load.