Kampung Pemulihan : Menghapus Stigma Oleh : Pdt Elifas Maspaitella, Sekum Sinode GPM

oleh
oleh
Pendeta Elifas Maspaitella, Sekum MPH Sinode GPM. FOTO : DOK. PRIBADI

ADA banyak teori tentang Komunitas Penyembuh atau apa yang saya sebut kini Kampung Pemulihan (KP). Saya mau mengutip salah satu saja menurut W. A. Mehroff (1999:97), dalam bukunya Community Design: A Team Approach to Dynamic Community Systems, bahwa suatu komunitas penyembuh menghadapi situasi yang kompleks antara individu, kelompok dan organisasi sosial di dalamnya. Agar proses penyembuhan/pemulihan itu berlangsung baik, para penyintas itu perlu menceritakan pengalaman mereka. Tujuan sebenarnya ialah kita menciptakan suatu lingkungan di mana kita adalah bagian dari lingkungan/komunitas di mana kita tinggal atau berasal. Sebab setiap orang mempunyai hubungan dan tidak bisa dipisahkan dari lingkungan aslinya.

Suara saudara yang terpapar dan para penyintas tidak boleh diabaikan dalam proses pemulihan. Mereka berhak sembuh, pulih. Berhak untuk tidak didefenisikan sebagai “korban” melainkan saudara. Berhak ditempatkan setara dalam hubungan antarindividu dan dalam komunitasnya. Penderitaan adalah suatu pengalaman yang tidak tabu untuk dibagikan (spiritual sharing), diceritakan, karena itu untuk didengar. Cerita mereka adalah bagian dari narasi komunitasnya, seperti mereka adalah bagian dari lingkungan asalnya itu. Setiap orang dalam komunitas harus membiasakan diri dengan cerita tentang penderitaan atau sakit, wabah atau pandemik, sebab itu cerita itu mendewasakan kita untuk memahami hidup secara utuh, bahwa kita tidak terasing dari segala peristiwa yang terjadi di lingkungan kita, bahkan ketika di situ terjadi suatu peristiwa yang mengharu-biru.

Pada bagian pertama tulisan ini, telah disebut bahwa dukungan masyarakat terhadap saudara-saudara yang terpapar covid-19 adalah “vaksin sosial” yang membangkitkan semangat untuk sembuh. Kali ini, KP haruslah dijadikan sebagai suatu lingkungan sosial di mana setiap orang merasa benar-benar menjadi bagian di dalamnya, tidak dipandang dengan sebelah mata, apalagi dipahami sebagai “pembawa virus”. Ingat bahwa individu itu tidak bisa dilepaskan dari keluarga darimana ia lahir. Ia pun tidak bisa dipisahkan dari lingkungan darimana ia berasal. Dia juga tidak bisa diceraikan dari tempat di mana ia hidup. Ia menyatu dengan lingkungan asalnya.

BACA JUGA :  Rapat Bersama DPRD Maluku, Pertamina Jamin Stok BBM Selama Ramadhan dan Idul Fitri Aman

HINDARI STIGMA TERHADAP ORANG. Oleh sakit apa pun, seseorang tidak boleh distigmakan sebagai “pembawa bencana”, sebab tidak ada orang yang bercita-cita untuk sakit. Individu dan masyarakat memiliki cara untuk melindungi diri dan komunitasnya, dan berusaha menjadikan cara itu sebagai mekanisme untuk bertahan hidup (survive). Cara-cara melindungi diri dan komunitas itu adalah kemampuannya berada, menyesuaikan diri (adaptasi) dan mengembangkan komunitas atau lingkungannya sebagai lingkungan kehidupannya. Di dalam lingkungan hidup itu (habitat) dia mengembangkan perilaku yang unik dan khasnya (habitus). Bila seseorang telah distigmakan maka pengalamannya akan hilang. Di situ, komunitasnya dan lingkungan yang lebih luas akan kehilangan kepekaan menghadapi pandemik atau pengalaman trauma lainnya. Kita memerlukan cerita tentang pengalaman melewati krisis agar kita bisa mengendalikan mekanisme diri untuk survive.

HINDARI STIGMA TERHADAP KOMUNITAS/LINGKUNGAN. Karena individu adalah bagian dari lingkungannya, maka stigma terhadap pribadinya secara langsung dikenakan kepada lingkungan asalnya. Bila suatu lingkungan sudah distigmakan, maka kita mengalami kebangkrutan sosial yang parah, sebab kita mengasingkan (alienate) dan menjauhi (avoid) komunitas itu. Akan muncul problem ketidakadilan latent dan beragam bentuk efek sosial lainnya, dan itu terjadi karena kita yang melabeli atau memberi cap stigma itu terhadap mereka. Dalam konteks pandemik, apakah tepat defenisi zona hijau, zona merah secara sosiologis? Saya tidak akan membahas itu, sebab apa yang mau dikatakan di sini ialah bila defenisi-defenisi itu tidak bisa dijadikan stigma sosial terhadap seseorang atau suatu lingkungan. Beban sosial kita akan banyak bila komunitas setempat melakukan tindakan perlawanan atas stigma dengan “mekanisme lokal setempat mereka”.

Karena itu, agar kita menjadi komunitas penyembuh atau menciptakan lingkungan kita sebagai “kampung pemulihan”, mari kita menyapa mereka yang terinfeksi sebagai “saudara” dan terimalah mereka sebagai bagian dari diri dan lingkungan itu. Sebelum vaksin medis ditemukan dan mujarab untuk menyembuhkan, vaksin sosial telah terlebih dahulu memotivasi mereka untuk sembuh, sebab mereka akan merasa diterima, didukung, dan sudah tentu didoakan untuk sembuh.

BACA JUGA :  Masyarakat Tanimbar Aksi Bakar 1.000 Lilin Perjuangkan Hak PI Blok Masela

Mari fokus pada usaha memerangi penyebab penyebaran covid-19 dengan mengurai perjumpaan, membatasi aktifitas keluar rumah, membantu para dokter dan tenaga medis cepat kembali kepada keluarga mereka, dan jangan menambah beban sosial karena tindakan-tindakan yang tidak perlu.

#katongbisa
#katongdengdong

(bersambung)

No More Posts Available.

No more pages to load.